Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat
“Dapat saja ditambah, tetapi dengan amandemen UU Kementerian Negara. Bisa dilakukan oleh Presiden Jokowi dan DPR sekarang. *Bisa juga setelah Prabowo dilantik dengan menerbitkan Perppu,”
[Yusril Ihza Mahendra, 8/5].
Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menyebut presiden terpilih Prabowo Subianto bisa menambah jumlah kementerian lewat penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) setelah resmi dilantik pada Oktober mendatang. Menurut Yusril, penerbitan Perppu menjadi alternatif lain yang bisa digunakan Prabowo sebagai landasan hukum menambah jumlah kementerian, selain revisi undang-undang.
Sebelumnya, Prabowo dikabarkan akan menambah sejumlah pos kementrian, dari 34 menjadi 38 hingga 40 pos kementerian. Hal itu dilakukan, demi mengakomodasi kepentingan sejumlah parpol pendukung dan parpol lawan yang belakangan merapat.
Tempo menulis, untuk parpol pengusung Prabowo yang lolos parlemen mendapat jatah 2-3 pos menteri. Untuk parpol pengusung yang tak lolos parlemen, mendapat jatah 1 menteri atau wakil menteri. Untuk partai baru yang dulu melawan dan sekarang merapat, seperti NasDem dan PKB kabarnya kebagian 1 sampai 2 menteri.
Ide Yusril ini tergolong radikal. Sebab, Perppu umumnya diterbitkan karena kondisi kegentingan yang memaksa, yang berkaitan dengan hajat rakyat. Perppu adalah instrumen legislasi bagi Presiden, untuk menghadapi situasi yang memaksa, yang membutuhkan penyelesaian hukum ditingkat UU, yang tidak bisa diproses secara konvensional melalui DPR.
Dasar hukum penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) adalah Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi:
“Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.”
Pasal 1 angka 4 UU 15/2019 tentang Pembentukan peraturan perundang undangan, juga menyatakan:
“Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.”
Secara subjektif, Perppu menjadi kewenangan Presiden. Presiden-lah, yang menetapkan kapan dan dalam kondisi apa Perppu diterbitkan.
Hanya saja secara objektif, Mahkamah Konstitusi (“MK”) dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 telah menentukan tiga syarat objektif sebagai parameter adanya “kegentingan yang memaksa” bagi Presiden untuk menerbitkan Perpu, yaitu:
Pertama,* Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
Kedua, Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
Ketiga, Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Berdasarkan parameter objektif Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, maka ide penerbitan Perppu untuk mengakomodir kepentingan bagi-bagi menteri cacat hukum. Karena alasan penerbitan Perppu semacam ini, tidak memenuhi unsur objektif baik dari sisi urgensi, kekosongan UU dan proses penerbitan UU.
Bagi-bagi menteri, bukanlah kebutuhan mendesak bagi Negara. Perppu adalah instrumen hukum bagi Presiden untuk mengelola pemerintahan, bukan untuk mengelola koalisi parpol dan bagi-bagi kursi menteri.
UU kementrian Negara, sudah menetapkan pos kementrian. Presiden tinggal mengisi pos kementrian tersebut, bukan mengubah UU hanya untuk kepentingan bagi-bagi menteri.
Jika pun akan diubah melalui DPR, tetap saja hal itu mengkonfirmasi negara dikelola untuk kepentingan syahwat kekuasaan, bukan untuk melayani rakyat. Sehingga, tindakan revisi UU dengan motif bagi-bagi menteri, bukan untuk melayani kepentingan rakyat, secara filosofi bertentangan dengan konstitusi.
Memang benar, mengubah UU melalui kewenangan Jokowi akan ribet. Selain bukan kewenangan Prabowo, DPR juga bisa menghambat rencana revisi UU kementrian untuk mengakomodir tujuan bagi-bagi menteri.
Sehingga, untuk kebutuhan yang praktis membagi kue kekuasaan, penerbitan Perppu oleh Prabowo menjadi pilihan paling realistis. hanya saja, semua tindakan ini baik secara formil maupun materil dipastikan melabrak konstitusi.