Oleh : Agus Wahid
Analis Politik
Ribuan guru besar mengkritik tajam cara Jokowi mengelola negara. Bahkan, ratusan ribu cendekiawan dan aktivis menyuarakan nada yang sama. Belum termasuk masyarakat awam, yang akhirnya melek politik dan menyadari kebobrokan rezim ini, setidaknya dalam tiga tahun terakhir ini. Kritik tajamnya pun disampaikan secara formal: lembaga perguruan tinggi, minimal organisasi kumpulan masyarakat. Lebih dari itu, di antara mereka pun berunjuk rasa, menuntut pertanggungjawaban kekuasaannya. Lalu, apakah Jokowi tergerak nuraninya lalu mendengarkan suara gemuruh mereka?
No. Reaksi konfrontatif berbagai elemen bangsa hanyalah dipandang sebagai gongongan semata. Kafilah tetap berlalu. Dengan cengengesan dan memicingkan mata, serta mengkernyitkan jidatnya, Jokowi dan seluruh kroninya makin memperkuat cengkeramannya. Kini, cengkeraman itu sedang dipertontonkan secara ekstensif, di Tanah Air ini, dan di hadapan masyarakat interasional. Pemilihan presiden (pilpres) yang sangat tidak fair dari sisi prosesnya, juga perolehan angka yang digelembungkan secara sistemik.
SIREKAP yang dijadikan alat kejahatan politiknya dimainkan secara mobokrtatif, tetap tak menggubris gelombang kritik. Belakangan ketahuan, SIREKAP merupakan karya teknologi informasi atas dasar kontrak kerjasama dengan Alibaba, sebuah platform raksasa yang berdomisili di negeri Tiongkok. Sebuah format kerjasama yang jelas melanggar prinsip keamanan dalam negeri. Layak diajukan ke Mahkamah Internasional.
Anehnya, Jokowi dan seluruh gerombolannya sama sekali tak terihat guratan wajah malu. Yang ada justru sikap “menantang”. Kian memamerkan kekuatannya (angkatan pertahanan dan keamanan) yang sudah berubah menjadi robot: bekerja sesuai perintah junjungannya. Tak lagi sebagai alat negara. Itulah sebabnya, sejumlah unjuk rasa dipandang sepi. Karena kekuatannya sudah dapat ditakar.
Bagaimana dengan people power? Ada beberapa kerangka yang perlu kita analisis lebih jauh. Pertama, people power akan diperhitungan jika mampu menggerakkan ratusan ribu orang pada setiap titik. Berarti, tak boleh terjadi konsentrasi massa pada satu titik. Kedua, harus dipikirkan strategi efektif siapa atau lembaga mana saja yang harus dikepung. Ini berarti, tidak hanya Jokowi, DPR, KPU, BAWASLU dan kelak Mahkamahg Konsitusi yang menjadi sasaran unjuk rasa. Tapi, siapa saja yang menjadi pemback up istana selama ini, terkait penasehat politik terdekatnya, para aktor bromocorah dari anasir lembaga-lembaga surveyor bayaran dan pakar hukum selaku lawyer. Mereka perlu diambil langkah shock teraphy (terapi kejutan), yang mampu membikin rasa takut mendalam dan akan berfikir ulang untuk terus Bersama Jokowi. Penculikan adalah bagian dari shock teraphy itu. Dengan tiadanya sejumlah manusia itu, Jokowi akan kehilangan sandaran.
Dan satu lagi – sebagai strategi ketiga – para pengunjuk rasa harus cerdas mengartikukasikan ragam unjuk rasa. Jika hanya berkoar-koar, pasti tak akan diindahkan. Karena itu, pemikiran blokade sejumlah ruas jalan yang menjadi urat nadi perekonomian akan sangat besar pengaruhnya. Akan mampu melumpuhkan ekonomi nasional. Blokade ini akan mempercepat kelumpuhan ekonomi jika dilakukan tidak hanya di sekitaran Jakarta. Tapi, minimal Jabodetabel bahkan sejumlah jalan provinsi – minimal Jawa – akan mempercepat ketersungkuran sistem ekonomi nasional.
Dalam waktu relatif singkat, gerakan pelumpuhan ekonomi ini akan mandorong masyarakat menarik dananya dari bank-bank tempat dirinya menabung. Alasannya simple. Untuk belanja barang sebagai antisipasi kelangkaan stok barang, terutama pangan. Kondisi ini jelas akan berdampak lebih jauh dan destruktif: inflasi akan merangkak secara hiperbolik.
Di tengah keterbasan daya beli masyarakat yang meluas ini maka kemarahan itu akan berubah menjadi gerakan revolusioner. Pusat-pusat sembako bahkan pusat-pusat perdagangan lainnya akan diserbu masyarakat. Tidak tertutup kemungkinan, kemarahan itu akan memuncak akibat kecemburuan sosial-ekonomi. Dalam hal ini, etnis Tionghoa akan menjadi sasaran kemaran, meski di antara mereka nasionalis, atau alergi dengan kelakuan rezim ini. Kondisi ini pula yang akan mendorong mereka menyelamatkan diri. Buru-buru terbang ke negeri jiran. Bisa Singapura atau lainnya. Sekalian liburan panjang. Kembali setelah kondisi pulih.
Itulah varian krusial dari people power. Unjuk rasa damai di tanah air ini tak akan menggugah hati nurani rezim. Karenanya, people power secara anarkis, memang satu-satunya opsi yang harus menjadi pertimbangan. Harus bedakan dengan performa nagara-negara Barat yang berunjuk rasa secara damai, tapi membuahkan resolusi konstruktif. Indonesia? Noway. We should fight them brutally. Dengan sistem gerilya, hit and run. Untuk mencegah korban yang bergelimpangan. Dapet laukna, herang caina (dapat ikannya, air tetap tidak keruh). Sebuah folosofi gerakan yang layak dirungkan.