Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
Baru saja penulis mendapat kiriman kalimat kutipan yang sangat mendalam, tentang urgensi keberanian, kesungguhan, keseriusan dan kesiapan untuk pasang badan, dalam menghadapi berbagai ujian dan resiko dalam mengarungi samudera dakwah. Ya, karena pada hakekatnya, tanpa keberanian, segudang ilmu & Tsaqofah hanya akan menjadi tumpukan informasi yang tidak memiliki nilai. Hanya seperti tumpukan buku di perpustakaan, yang tak memiliki pengaruh sedikitpun atas eksistensi dan kebangkitan umat.
Lalu, penulis teringat pada untaian kutipan dari seorang Sahabat, bernama Abi Dzar. Dia berkata:
“Sekawanan itu bergantung pada pemimpinnya. Jika pemimpinnya Singa, maka itu adalah kawanan Singa. Namun, jika pemimpinnya kambing, maka itu tidak lebih hanya kerumunan kambing”
Dalam redaksi yang lain, ada pula yang menyampaikan ungkapan:
“Dipimpin singa, sekawanan kambing bisa seperti sekumpulan serigala lapar. Dipimpin kambing, kumpulan harimau hanya punya daya seperti kumpulan kucing”
Lalu, kembali penulis cermati kata demi kata, paragraf demi paragraf, dan kalimat demi kalimat, kutipan pesan sebagai berikut:
“Umat dan bangsa dan individu-individu pemalas, atau orang-orang yang menghindari bahaya, atau orang-orang yang dikuasai malu, takut, dan bergantung pada orang lain, maka mereka semua tidaklah serius dengan apa yang mereka pikirkan.”
“Sebab, kemunduran menjadikan seseorang menginginkan yang paling gampang, dan tidak menyungguhkan dirinya dengan yang paling sulit dan berat. Sedangkan kemalasan, akan menafikan kesungguhan.”
“Menghindari bahaya, akan memalingkan dari kesungguhan. Malu, takut dan menggantungkan pada orang lain, akan mencegah dari kesungguhan.”
“Oleh karena itu, harus ada upaya meninggikan akal, menghilangkan kemalasan dan suka mendobrak bahaya, serta harus ada upaya untuk membedakan malu dengan apa yang seharusnya malu, dan harus ada keberanian dan menjadikan kemandirian (bergantung pada diri sendiri) sebagai salah satu karakter dari karakter-karakter (yang harus dimiliki), hingga terwujud kesungguhan pada individu-individu, bangsa-bangsa dan umat.”
(Al Alim, Al Alamah, Asy Syaikh Taqiyuddin an Nabhany, Dalam Karya Agung Beliau, Kitab At Tafkir)
Karakter seorang pemimpin, itu harus laksana junnah (perisai), dimana jama’ah berlindung dibelakangnya. Bukan sebaliknya, pemimpin yang berlindung dibalik jama’ah.
Keengganan untuk mengambil peluang dan resiko dakwah, mengambil perkara ringan sekedar hanya menunjukan tetap melakukan aktivitas dan kegiatan, menghindari perkara berat karena dapat berdampak bagi kemaslahatan dirinya, menggantungkan nasib pada situasi dan kondisi, selalu khawatir akan dampak dari setiap
tindakan, serta tak berani dan malu untuk membusungkan dada ditengah umat untuk menunjukan kepada umat bahwa ia siap memimpin dan menyelamatkan umat, adalah diantara karakter dari berbagai karakter-karakter pemimpin kambing yang harus dihindari, yang akan sangat berbahaya eksistensinya bagi jama’ah.
Sebaliknya, pemimpin pemberani, pemimpin yang siap menanggung beban dan ujian dakwah, siap terdepan dan pasang badan bagi jama’ah dan umat, menunjukan jalan kebangkitan umat sekaligus orang yang pertama meniti jalannya dan siap dengan segala resikonya, terbuka dan terang-terangan menyampaikan identitas sebagai pengemban dakwah Islam -bukan karena faktor Megalomania, tapi karena besarnya keinginan untuk mengerahkan seluruh daya dan upaya untuk merealisir tujuan jama’ah-, menyandarkan masa depan jamaah pada keyakinan akan pertolongan Allah SWT dan berbagai upaya yang diikhtiarkan, menghindari melabuhkan harapan pada situasi dan kondisi termasuk dinamika politik dan pergantian rezim, adalah contoh karakter pemimpin diantara karakter-karakter yang harus dimiliki bagi siapa saja yang serius menghendaki kebangkitan bagi individu, jamaah, umat dan bangsa.
Bagi kita semua, penting sekali memiliki pemimpin pemberani ditengah kezaliman yang juga tak lagi punya rasa malu. Tak dibutuhkan, pemimpin yang hanya banyak berteori dan berasumsi, tanpa melakukan upaya aksi untuk terus memverifikasi berbagai asumsi dan sesekali menerjang ombak dan badai, agar kapal dapat segera keluar dari pusaran ombak. Bukan malah menepi, bersandar di dermaga, lalu berbangga kapal selamat dari ancaman badai dan gelombang, padahal kapal hanya berlabuh di dermaga.
Ingatlah! Setiap ikhtiar yang sungguh-sungguh, akan berdampak pada hasil yang maksimal. Ikhtiar sungguh-sungguh inilah, yang dilakukan Muhammad al Fatih ketika menaklukan Konstantinopel.
Jika saja, Muhammad Al Fatih termasuk para pemimpin yang enggan mengambil peluang dan resiko dakwah, mengambil perkara ringan sekedar hanya menunjukan tetap melakukan aktivitas dan kegiatan, menghindari perkara berat karena dapat berdampak bagi kemaslahatan dirinya, menggantungkan nasib pada situasi dan kondisi, selalu khawatir akan dampak dari setiap tindakan, serta tak berani dan malu untuk membusungkan dada ditengah umat untuk menunjukan kepada umat bahwa ia siap memimpin dan menyelamatkan umat, pastilah Konstantinopel tidak akan pernah bisa ditaklukkan.