PEMILU, SURVEI, DAN BIAS PEMILIH

Opini1777 Views

Oleh : Ana Mustamin

DALAM pemilihan umum, baik Pilpres maupun Pilkada banyak analisis yang dibuat untuk menjelaskan fenomena kemenangan seorang calon (dan kekalahan calon lainnya). Namun, analisis itu umumnya di tingkat elite, tapi tidak di masyarakat awam. Asumsi-asumsi yang dikemukakan tentang mengapa seorang calon bisa menang (atau kalah) bisa signifikan jika pemilu berlangsung pada persaingan yang sempurna. Pemilu di Indonesia, sepanjang yang kita ikuti, bukanlah persaingan yang sempurna.

Meminjam rumusan pelaku pasar uang, George Soros (1999), yang dimaksud persaingan sempurna adalah persaingan yang berlangsung di satu ‘pasar’ yang terpusat, produknya (baca: calon j jika pilpres diibaratkan pasar) relatif homogen, biaya promosi (kampanye) yang rendah.

Selain itu, komunikasi yang seketika (instan), cukup banyak pemilih yang bisa memastikan bahwa tidak seorang pun dapat memengaruhi ‘harga pasar’ dari seorang calon dengan cara yang tidak normal, dan aturan-aturan khusus untuk ‘transaksi orang dalam’ (insider transactions) khususnya bagi calon incumbent atau yang mewakili incumbent (yang sering tidak bisa dibedakan apakah dia bertindak sebagai pemerintah yang berkuasa atau sebagai calon yang ikut berkompetisi), di samping juga pengaman-pengaman khusus untuk memberi akses kepada semua pemilih ke informasi yang relevan. Baca berita tanpa iklan.

Dalam persaingan yang tidak sempurna, ekspektasi pemilih tidak selalu bersifat rasional di mana semua keputusan didasarkan atas informasi relevan yang mereka terima. Akan sangat banyak ditemukan pemilih yang gegabah, atau pemilih dengan pikiran terbatas. Bukan saja karena mereka tidak memiliki akses ke sumber informasi kredibel, atau informasi yang mereka terima tidak komprehensif. Namun memang dalam persaingan, banyak informasi yang bias atau sengaja dibiaskan, sehingga membuat pemilih tersesat.

Dalam membentuk ekspektasi, setiap individu tidak selalu mampu menggunakan informasi secara efisien dan karenanya selalu terbuka kemungkinan mereka melakukan kesalahan sistematik dalam membuat keputusan.

Kesalahan itu, umumnya bersifat spekulatif. Karena tidak bisa mencapai titik referensi independen sebagai akibat orang tidak bisa keluar dari dirinya sendiri; orang tidak bisa melihat dunia melalui prisma yang bebas dari distorsi. Distorsi bahkan bisa kita temukan saat seseorang menerima informasi yang secara substantif sesungguhnya merupakan informasi yang cukup lengkap dan sahih.

Para psikolog komunikasi menyimpulkan: pada dasarnya semua pandangan kita tentang dunia dilakukan dengan cara cacat, yakni berdasarkan persepsi! Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi adalah proses pemahaman atau pemberian makna atas suatu informasi terhadap stimulus yang kita terima. Pemberian makna itu tidak utuh, persepsi bukan gambaran menyeluruh. Persepsi bisa bias, tergantung sudut pandang, pengetahuan dan pengalaman orang yang menerima stimulus/pesan yang dipersepsikan.

Di pemilu, bagi tim pemenangan yang memahami strategi komunikasi, kemampuan pemilih yang terbatas dalam mempersepsi ini dimanfaatkan dengan baik. Persepsi dibentuk dengan cara mendistorsi pandangan pemilih secara sistematis. Salah satunya melalui lembaga survei. Lembaga survei dengan segenap keunggulan dan kekuatannya sebagai perangkat jajak pendapat ilmiah, bekerja melakukan distorsi dengan cara menciptakan apa yang disebut sebagai “kecenderungan umum”. Lembaga survei yang didanai salah satu kubu paslon, misalnya, sejak dini sudah menciptakan ‘pandangan atau kecenderungan umum’ dengan menyatakan tingkat elektabilitas calon X mencapai 47 persen bahwa pilpres hanya akan berlangsung satu putaran.

Dalam kenyataannya nanti, pandangan itu sangat mungkin mewujud. Ketika penghitungan pemungutan suara usai dilakukan, paslon X benar-benar dinyatakan sebagai pemenang. Apakah lembaga survei mempunyai daya prediktif atau antisipatif yang luar biasa? Bisa ya, bisa tidak. Namun fenomena ini sebenarnya bisa dijelaskan dengan cara sederhana melalui rangkain kejadian. Kejadian pertama adalah lembaga survei melakukan upaya ‘pembiasan’ pandangan ke satu arah, yakni ke paslon tertentu, dengan merilis secara terbuka hasil jajak pendapat tentang tingkat elektabilitas paslon. Tentu saja, perhatian akan terfokus pada paslon dengan jumlah pemilih tertinggi.

Dengan metodelogi ilmiah (meski bisa diperdebatkan), sangat mudah membuat pemilih memercayai hasil survei. Lalu kejadian kedua, masyarakat pemilih percaya dan ‘terbias’ pada paslon yang diunggulkan lembaga survei, sehingga memengaruhi pikiran (dan karenanya memengaruhi kejadian) yang mereka antisipasi. Bagi pemilih yang pilihannnya sejalan dengan hasil survei, jajak pendapat ini meneguhkan keyakinannya. Sementara pada pemilih yang ragu atau pemilih yang tidak memiliki akses yang cukup pada informasi yang relevan, besar kemungkinan besar akan ikut terbias.

Kombinasi dari dua rangkaian kejadian ini membentuk apa yang disebut “ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya (the self-fulfilling prophecy)”. Teori ini menyebutkan bahwa bila kita membuat perkiraan atau merumuskan keyakinan di mana keyakinan itu kita percayai akan menjadi kenyataan, maka kita akan bertindak seolah-olah itu benar terjadi, meskipun sebetulnya peristiwanya belum terjadi (Insel & Jacobson, 1975; Merton, 1957). Bias pemilih pada dasarnya memang bisa digunakan sebagai titik tolak untuk membangun model interaksi antara pandangan pemilih dan situasi pemilu tempat mereka berpartisipasi.

Dalam proses psikologis “ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya”, terdapat empat langkah yang membuat hal itu bisa terjadi. Langkah pertama adalah, kita membuat prediksi atau merumuskan keyakinan tentang sesorang atau situasi. Kedua, kita bersikap kepada orang atau situasi tersebut seakan-akan ramalan atau keyakinan kita benar; Ketiga, karena kita bersikap demikian (seakan-akan keyakinan kita benar), ia menjadi kenyataan. Keempat, kita mengamati efek pilihan kita terhadap seseorang atau akibat terhadap situasi, dan apa yang kita saksikan memperkuat keyakinan.

Karena itu, apa pun dalihnya, bias/kecenderungan umum ini sebetulnya sangat powerfull memengaruhi kecenderungan pemilih. Lembaga survei bisa berkilah bahwa dalam model pemilu seperti ini, banyak pelaku yang terlibat yang secara pasti memiliki pandangan berbeda-beda.

Masyarakat bisa saja tidak setuju dengan hasil survei. Namun demikian, keragaman pandangan tersebut pada dasarnya bisa disederhanakan dengan mengasumsikan bahwa banyak dari bias individual saling menghilangkan (apalagi jika pandangan yang berbeda itu merupakan pandangan minoritas), untuk kemudian menyisakan apa yang dinamakan sebagai “bias umum (prevailing bias)”.

Bias umum inilah yang manjadi bahan baku terbentuknya “kecenderungan dasar umum”. Dalam model pemilu, distorsi bekerja melahirkan pandangan/bias umum dan kecenderungan dasar pemilih, kemudian saling bertinteraksi melalui dua fungsi, yakni fungsi partisipatif dan fungsi kognitif. Bias umum memengaruhi persepsi pemilih melalui fungsi kognitif (memengaruhi pikiran pemilih); dan kemudian pilihan yang didasari persepsi itu memengaruhi peristiwa/hasil pemilu melalui fungsi partisipatif (tindakan pada saat pemilih mencoblos di TPS sesuai kecenderungan umum yang mereka pikirkan).

Di sini, terjadi suatu pola hubungan refleksif yang bersifat timbal balik (resiprokal) di mana nilai relatif calon ditentukan oleh dua faktor. Pertama, kecenderungan pemilih dan kedua, bias umum.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *