Oleh : Ana Mustamin
Dewan Pakar Brain Society Center (BS Center)
Jakarta – Dunia komunikasi di era digital mengalami tantangan luar biasa. Kemudahan teknologi editing seperti dua sisi mata uang: memudahkan sekaligus memporak-porandakan komunikasi.
Salah satunya terkait dengan konten-konteks. Dalam melakukan komunikasi, dua dimensi (konten dan konteks) tidak bisa dipisahkan atau diabaikan. Konten adalah pesan komunikasi yang ingin disampaikan. Konteks adalah situasi atau peristiwa yang melatari pesan itu.
Konten tidak berdiri sendiri. Konten harus dimaknai berdasarkan konteks peristiwa (kontekstual). Konten bisa sama, tapi maknanya akan berbeda jika konteksnya berbeda. Contoh di dunia kerja: jika konten “tolong bantu saya” disampaikan rekan sekerja, itu biasanya benar-benar adalah pesan murni meminta bantuan, kerja sukarela. Tapi jika konten/pesan itu disampaikan atasan, boleh jadi itu adalah sebuah perintah/instruksi yang tidak bisa kita abaikan. Konteks di sini terkait dengan hubungan/relasi kerja dan situasi yang berbeda.
Saat ini banyak di antara kita yang cenderung mengabaikan konteks. Salah satunya adalah dengan memotong/mengedit foto, video atau pemberitaan, dan hanya mengambil cuplikan kalimat-kalimat yang kita inginkan. Cuplikan yang diambil biasanya untuk mendukung dan mempertegas pesan yang ingin kita replikasikan ke publik. Dalam teks, kita membuatnya seperti kata atau kalimat yang dipertebal hurufnya atau digarisbawahi. Dalam ceramah agama, replika pesan yang mengabaikan konteks biasanya dilakukan dengan mengutip ayat-ayat tanpa memahami latar peristiwa turunnya ayat tersebut, dan kemudian mengutip ayat dimaksud untuk konteks yang tidak relevan atau sama sekali berbeda. Dalam pesan yang lebih terorganisir seperti media massa, kerja mengutip untuk memperkuat pandangan media disebut “framing”.
Jika cuplikan itu berisi pesan baik, mungkin tidak terlalu bermasalah. Celakanya, potongan kalimat atau ucapan itu biasanya diambil untuk tendensi negatif, mendukung kontroversi, meneguhkan keyakinan (negatif) yang sudah terbentuk sebelumnya. Apalagi jika cuplikan itu dibumbui pula keterangan tambahan untuk memperkuat replika pesan dan kesan yang diinginkan.
Cuplikan (yang umumnya lepas dari konteks) ini kemudian diviralkan. Jadilah kata atau kalimat yang bias, lepas atau berbeda sekali dengan apa yang dimaksudkan oleh komunikator atau pengirim pesan pertama (penulis atau pencipta video original).
Pesan yang diviralkan (yang sebetulnya bias), karena dikonsumsi berulang-ulang, membentuk dan/atau meneguhkan kepercayaan akan sebuah kebenaran semu. Kita percaya pada sesuatu yang sebetulnya bukan sesuatu sebagaimana adanya. Kita mempercayai kutipan yang secara substansial bukan lagi murni sebagaimana yang dimaksudkan pengirim pesan. pesan yang dicuplik (kemudian dibumbui) itu bisa jadi sudah menjelma pemutarbalikkan fakta, menjadi hoax, meski secara faktual kita melihat bahwa kata/kalimat itu benar-benar diucapkan oleh seseorang.
Konten yang bias, jika viral, akan menjadi kepercayaan kolektif. Jika kalimat itu bisa memunculkan kemarahan personal, saat diviralkan (plus dibumbui), akan menjelma menjadi kemarahan kolektif. Kemarahan kolektif yang sebetulnya lahir dan dibentuk dari upaya manipulasi konten.
Memanipulasi pesan di media digital adalah pembodohan massal. Ini adalah kerja orang-orang yang memang ditugaskan untuk membentuk opini publik sesuai dengan tujuan komunikasi yang ingin dicapai. Celakanya, masyarakat kita adalah masyarakat yang malas menyimak, tapi nyinyir. Alih-alih menelusuri tulisan, foto atau video asli dan menontonnya secara lengkap dan seksama; jauh lebih mudah mempercayai potongan berita atau video yang umumnya berdurasi pendek. Apalagi jika bernada provokatif. Dalam tradisi intelektual, budaya instan tanpa sadar mendegradasi daya kritis kita, membuat nalar kita jadi tumpul.
Apakah anda termasuk orang-orang yang gemar mereplika pesan dengan mengutip konten sesukanya dan mengabaikan konteks untuk tujuan provokasi? Atau apakah anda termasuk orang-orang yang suka menonton atau membaca cuplikan konten yang meneguhkan kepercayan anda dan malas menyimak tulisan/foto/video aslinya untuk mendapatkan konteks selengkapnya?
Jika ya, semoga anda tidak sampai hati memanipulasi konten kitab suci.
#anamustamin
#opini
#kontentchallenge
#komunikasipolitik
#komunikasipublik