PELUANG DAN TANTANGAN STARLINK

Opini1220 Views

Oleh : Alfin Hikmaturokhman, Ibrahim Kholilul Rohman

Kunjungan Elon Musk, CEO SpaceX dan Tesla, ke Bali pada 19 Mei 2024 untuk mengikuti World Water Forum (WWF) menjanjikan potensi pengembangan ekonomi digital di Indonesia.

Kedatangan Elon Musk secara simbolis juga menandai Starlink yang secara resmi telah menerima izin untuk diluncurkan di Indonesia, menyusul peluncuran di 32 negara di Eropa, 4 negara di Afrika, dan 8 negara di Asia dan Oseania sebelumnya.

Menghadapi tantangan infrastruktur, PT Starlink Services Indonesia menawarkan solusi konektivitas yang sangat inovatif bagi negara dengan topografi yang menantang seperti Indonesia.
Didukung oleh Space Exploration Technologies Corporation (SpaceX) sebagai sebuah perusahaan transportasi luar angkasa swasta Amerika Serikat, Starlink memberikan solusi dalam menyediakan layanan internet satelit dengan kecepatan tinggi untuk menjangkau seluruh daerah di Indonesia, termasuk daerah-daerah yang sebelumnya masih belum terhubung lantaran tingginya biaya investasi telekomunikasi baik teknologi seluler maupun kabel (fiber to the home/FTTH).

Layanan internet satelit tradisional menggunakan satelit geostasioner dengan jarak 35.786 km dari bumi dan memiliki latensi tinggi, yaitu lebih dari 600 milidetik. Kondisi ini menyebabkan keterbatasan dalam menikmati streaming, game online, dan panggilan video.
Sementara itu, Starlink menggunakan konstelasi ribuan satelit yang mengorbit lebih dekat ke bumi (Low Earth Orbit/LEO), dengan jarak sekitar 550 km. Hal ini memungkinkan cakupan global yang luas dengan latensi yang jauh lebih rendah, antara 25 dan 60 milidetik, dan kecepatan unduh mulai dari 25 hingga 220 Mbps, sehingga memberikan pengalaman online yang lebih responsif dan lancar.

Selain itu, dengan lebih dari 5.250 satelit yang diluncurkan pada Januari 2024, dan rencana untuk memperluas kapasitas dengan launching 12.000 satelit, Starlink berkomitmen untuk memperkuat jaringan globalnya.

Keandalan layanan ditingkatkan melalui armada satelitnya yang luas, memungkinkan redundansi yang signifikan. Jika satu satelit mengalami masalah, secara otomatis akan beralih ke satelit lain sehingga meminimalkan gangguan karena cuaca buruk atau awan tebal yang sering menjadi penghalang layanan satelit konvensional mencapai titik optimalnya.
Regulator telekomunikasi Amerika Serikat, FCC, telah memberi izin kepada SpaceX untuk menyediakan layanan internet satelit broadband menggunakan pita Ka dan Ku, yang masing-masing mencakup rentang frekuensi 27-40 GHz dan 12-18 GHz.
Starlink juga menggunakan pita V (40-75 GHz), serta pita X (8-12 GHz), dan pita K (18-27 GHz). Transmisi data dari satelit ke terminal pelanggan darat menggunakan frekuensi 10,7-12,7 GHz dan 37,5-42,5 GHz.

Sedangkan transmisi dari satelit ke gateway menggunakan rentang 17,8-18,6 GHz, 18,8-19,3 GHz, dan 37,5-42,5 GHz. Layanan yang disalurkan ini menggunakan frekuensi yang jauh lebih rendah daripada layanan satelit tradisional.
Meskipun teknologi ini dimungkinkan merevolusi perkembangan ekonomi digital di Indonesia, ada beberapa aspek yang perlu kita antisipasi baik dari sisi positif maupun negatif.
Sisi positifnya, sebagai negara kepulauan, kesenjangan digital turut berpengaruh pada kesenjangan ekonomi antarwilayah di Indonesia.
Data Susenas dari BPS menggambarkan bahwa rumah tangga di pedesaan dengan akses internet secara rata-rata memiliki pendapatan (di proxy dengan belanja) bulanan sebesar Rp1,46 juta lebih banyak dibandingkan dengan rumah tangga di pedesaan yang tidak terhubung internet.
Sedangkan kesenjangan rumah tangga di perkotaan sekitar Rp2,7 juta. Kesenjangannya makin besar ketika internet telah berhasil digunakan untuk tujuan produktif, seperti kegiatan perdagangan yang dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga sekitar Rp2 juta di wilayah desa.

Oleh karena itu, memiliki akses internet diyakini dapat meningkatkan aktivitas ekonomi di Indonesia, seperti yang telah ditemukan di negara-negara berkembang lainnya, misalnya dalam studi oleh Hjort & Poulsen (2019).
Studi ini menunjukkan pembangunan infrastruktur internet secara bertahap di Afrika memberikan dampak nyata bagi masyarakat termasuk bagi mereka dengan tingkat pendidikan yang rendah.
Kedua, Starlink mewakili harapan baru untuk menjembatani kesenjangan digital, memungkinkan orang untuk menikmati koneksi broadband tanpa ketergantungan dengan waktu pembangunan BTS, terutama di daerah terpencil. Walaupun pada saat ini, layanan Starlink masih membutuhkan access fee yang cukup mahal. Pelanggan harus mengeluarkan biaya berlangganan sebesar Rp750.000 dan membeli ‘Starlink Kit’ seharga Rp7,8 juta.

Di masa adopsi awal saat ini, Starlink memberikan diskon 40% berbatas waktu hingga 10 Juni 2024, di mana pengguna hanya membayar Rp4,7 juta saja untuk menikmati layanan ini. Namun, biaya ini dapat meningkat apabila pelanggan memilih paket dengan kapasitas lebih tinggi atau paket bisnis yang menawarkan mobilitas, dengan biaya berlangganan bulanan bisa mencapai hingga Rp4,34 juta.
Secara komunal, alternatif ini bisa menjadi solusi akses internet pada tingkat administrasi RT-RW meskipun mungkin masih akan terasa mahal untuk pengguna individu.

Bagaimana dengan tantangannya?
Ada kekhawatiran tentang keberlanjutan bisnis operator seluler. Kinerja operator jaringan seluler (Mobile Network Operators/MNO) telah banyak terdisrupsi oleh perkembangan teknologi, khususnya layanan over-the-top (OTT).
Selama masa kejayaan industri telekomunikasi sebelum 2010-an, ketika perusahaan telekomunikasi secara dominan mendapatkan pendapatan dari short messaging services (SMS) dan panggilan, data Bloomberg menunjukkan bahwa Pendapatan Rata-Rata Per Pengguna (ARPU) operator telekomunikasi Indonesia adalah sebesar Rp40.000.

Adopsi OTT terutama WhatsApp yang secara masif mulai 2010-an cukup mendisrupsi kinerja industri. Jumlah pengguna WhatsApp di Indonesia mencapai 167 juta pada 2023. Imbasnya untuk industri telekomunikasi ditandai dengan penurunan ARPU secara terus menerus. Rata-rata ARPU terlihat mendatar hanya sekitar Rp35.000 selama 2010—2017 dan memuncak kembali di kisaran Rp40.000 pada 2020 selama periode Covid-19 ketika orang kebanyakan melakukan aktivitas di rumah baik untuk keperluan pendidikan dan bisnis.
Dengan tingkat penetrasi seluler saat ini mencapai 124%, sedikit ruang tersisa untuk operator seluler karena industri telekomunikasi tampaknya sudah mulai jenuh. Fakta ini yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah terutama apabila teknologi satelit bertindak sebagai pengganti daripada pelengkap, yang berpotensi mengancam kelangsungan hidup operator telekomunikasi.

Selain itu, jika Starlink nantinya menjadi teknologi yang didukung dalam kebijakan nasional dan menggantikan pengembangan serat optik untuk memperluas Palapa Ring ke pengguna akhir (last mile), biaya hangus (sunk cost) dari investasi harus diperhitungkan. Sebagai contoh, sebuah proyek Palapa Ring di Papua untuk menghubungkan 17 kabupaten telah menyerap sekitar Rp11 triliun dalam bentuk capital expenditure (capex) dan operating expenditure (opex). Menunda pengoperasian infrastruktur ini dapat meningkatkan biaya penyusutan, sementara proyek serupa juga dibangun di banyak tempat di Indonesia.

Terakhir, masalah privasi dan keamanan perlu ditangani. Studi yang dilkakukan IFG Progress pada 2022 menunjukkan bahwa sebagai kelompok negara “break-out” sebagaimana katagori Fletcher Intelligence Index, Indonesia harus benar-benar memperhatikan aspek privacy dan security dari perkenbangan digital yang saat ini terjadi.

Karena Starlink memiliki akses ke aliran data, sangat penting untuk memastikan bahwa implementasi Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) ditegakkan dengan kredibel.
Dengan demikian, pengumpulan dan penggunaan data oleh perusahaan teknologi harus mematuhi pedoman peraturan dan memastikan bahwa hanya data yang yang diizinkan yang bisa dipulihkan oleh perusahaan berbasis teknologi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *