Oleh : Samsun Hadi
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Malang
Inflasi yang mendekati akhir 2023 ini, rasa ‘pedasnya’ benar-benar serasa pedasnya cabai. Untuk November 2023, inflasi secara bulanan didominasi oleh komoditas volatile foods terutama hortikultura yaitu cabai merah, cabai rawit dan bawang merah.
Menurut BPS, cabai merah dan cabai rawit menjadi kontributor utama kenaikan Indeks Perkembangan Harga (IPH) di Sumatra dan Jawa. Pada November 2023, cabai merah mengalami inflasi bulanan 42,83% dengan andil 0,08% dan bawang merah 11,49% dengan andil 0,03%. Komoditas hortikultura tersebut telah memberikan dampak inflasi yang paling menonjol.
Siklus harga komoditas hortikultura khususnya harga cabai pernah dirasakan di sebagian besar daerah pada semester I/2022, yang kemudian menjadi pendorong Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) yang dicanangkan di Malang pada 10 Agustus 2022. Kenaikan harga komoditas hortikultura pada saat itu terjadi ditengarai karena dampak La Nina atau musim hujan yang cukup lama dalam setahun sehingga mengganggu produksi tanaman hortikultura khususnya cabai.
Sedangkan kenaikan harga cabai di ujung tahun 2023, lebih karena dampak dari El Nino atau musim panas yang panjang sehingga mengganggu produksi horikultura khususnya cabai. Di sinilah hukum ekonomi bekerja dan membuktikannya, bahwa apabila supply terganggu, sementara permintaan cenderung naik maka harga akan dipastikan mengalami kenaikan.
Dari aspek produksi (sisi hulu), pertanian masih dihadapkan kendala yang hingga saat ini masih menjadi yang belum juga mendapatkan solusi terbaiknya. Kendala itu mengemuka dan muncul pada saat 50 petani cabai yang berasal dari sentra produksi utama cabai se Jawa Timur yang tergabung dalam Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia (AACI) berembuk di Malang, pada pertengahan November 2023, untuk membicarakan tantangan yang dirasakan para petani cabai pada 2023—2024 serta dampaknya pada harga cabai.
Kenaikan harga cabai menjelang akhir 2023 sudah diperkirakan oleh para petani akan terjadi. Karena hampir 90% petani cabai di Jatim, dalam masa tanam 2023, mengalami banyak kegagalan panen atau kerugian karena dampak El Nino. Sementara AACI yang menaungi mereka menyampaikan bahwa petani cabai dari Jatim telah men-supply sekitar 60% kebutuhan DKI Jakarta/nasional, dimana jumlah tersebut yaitu sebanyak 60% berasal dari para sentra petani dari Banyuwangi. Jadi kegagalan panen dari para petani cabai dimaksud sudah diperkirakan akan mendongkrak kenaikan harga cabai pada akhir 2023, karena supply atau produksi yang terganggu.
KENDALA UTAMA
Paling tidak ada 3 (tiga) kendala utama yang dihadapi para petani cabai saat ini. Pertama, fluktuasi harga yang cenderung selalu tinggi. Menurut mereka, fluktasi harga yang tinggi sudah sering terjadi dan berlangsung lama bahkan sudah terjadi puluhan tahun. Mereka sangat setuju apabila ada intervensi/kebijakan sebagai upaya untuk menjaga stabilisasi harga baik ketika harga turun/naik atau pengembangan penghiliran yang saling mendukung.
Para petani pun merasa tidak nyaman dengan harga yang tinggi karena dipastikan kemudian akan terjadi harga terendah dalam periode tertentu. Karena pada saat harga tinggi akan banyak muncul petani dadakan yang menanam cabai untuk sekedar spekulasi. Petani lebih mengharapkan harga yang lebih terkendali dibandingkan dengan harga yang fluktuasi tinggi karena selama ini telah menciptakan budaya spekulasi (gambling) dalam pertanian.
Dengan harga yang terkendali, petani lebih dapat memperkirakan dengan baik margin/keuntungan yang akan didapat saat panen serta mengukur dengan baik risiko yang akan terjadi. Apabila kondisi ini terjadi, tentu akan memotivasi petani untuk terus bertani dengan lebih baik dan akan mendorong efisiesi melalui munculnya inovasi-inovasi, karena harga yang lebih stabil dan lebih terukur pada saat panen.
Permasalahan ini juga dirasakan oleh para pelaku industri olahan cabai yang juga mengeluhkan bahwa fluktuasi harga cabai yang tinggi sangat merugikan dari sisi biaya produksi yang tidak terkontrol dan sulit diprediksi, disamping juga pelaku industri olahan (penghiliran) saat ini mulai menghadapi persaingan barang olahan impor yang harganya relatif lebih murah.
Kedua, yaitu kendala dari sisi produksi (hulu) yang masih dirasakan hingga saat ini. Yaitu ada 3 (tiga) biaya pokok produksi yang cukup tinggi dan menonjol: yaitu bibit, pupuk dan tenaga. Mencari bibit dan pupuk selalu dikeluhkan petani yang sering dirasakan sulit dan juga mahal. Sementara tantangan dari tenaga kerja adalah semakin sulit untuk mencari tenaga kerja yang bersedia bekerja di pertanian.
Regenerasi tenaga pertanian semakin sulit dan minim dilakukan karena permasalahan dan tantangan yang ada kurang menjadi insentif bagi generasi muda untuk menjadi petani.
Ketiga, masih terbatasnya implementasi inovasi-inovasi pertanian. Padahal banyak sekali inovasi baik dari perguruan tinggi dan petani yang bisa dikembangkan dan diimplementasikan dengan baik. Perlu ada contoh inovasi keberhasilan yang dampaknya signifikan dalam pertanian yang bisa direplikasi di daerah lain.
Salah satu contoh inovasi yang tercetus dari para petani adalah implementasi greenhouse dengan rate of return yang baik untuk tanaman cabai karena dapat menghasilkan panen 5,2kg/tanaman selama 11 bulan yang telah dilakukan oleh salah satu petani di Jawa Timur.
Penggunaan inovasi semacam smart farming dan greenhouse ini juga diharapkan dapat menurunkan risiko dan tantangan saat masa tanam cabai merah karena inovasi semacam ini maka produksi/panen cabai dapat dilakukan hampir sepanjang tahun, atau juga sebagai upaya pengganti usulan perlunya kalender masa tanam cabai secara giliran setiap daerah agar supply terjaga dan harga relative stabil, yang menurut para petani kalenderisasi ini sangat sulit untuk dilakukan karena ada unsur pemaksaan dan potensi tanggungan risiko.