Oleh : Asyari Usman
Jurnalis Senior Freedom News
Ada 45 pengacara kondang yang membela Prabowo-Gibran (Paslon 02) di Mahkamah Konstitusi (MK). Paslon 02 diyakini menang pilpres 2024 karena kecurangan terstruktur, sistematis, masif (TSM). Ketua tim pembela adalah Prof Yusril Ihza Mahendra (YIM). Di situ ada Hotman Paris Hutapea. Ada Otto Hasibuan. Dan ada OC Kaligis yang pernah menjadi narapidana kasus sogok.
Pertanyaan seriusnya adalah: mengapa mereka mau menjadi pembela kecurangan pilpres? Memang sangat mengherankan. Padahal, seorang pengacara bisa saja menolak permintaan bantuan hukum kalau ia merasa tidak pantas membela perkara yang cacat moral. Terkait Prabowo-Gibran, kemenangan mereka cacat moral berat. Kemenangan curang TSM.
Nah, dalam hal 45 pengacara senior yang kompak membela kecurangan pilpres 2024 itu tampaknya publik boleh bersangka baik bahwa mereka mau ikut membela sesuatu yang tak bermoral atas dasar “ingin menegakkan kebenaran”. Bukan untuk menegakkan benang basah. Ini sangka baik kita.
Memang seperti inilah prinsip yang seharusnya dipegang oleh pengacara yaitu menegakkan kebenaran. Sebab, pengacara adalah pihak yang digolongkan sebagai “penegak hukum” juga. Mereka berada di ruang sidang untuk menguraikan fakta-fakta. Bukan untuk memutarbalikkan fakta apalagi memelintirnya untuk memenangkan klien.
Tetapi, benarkah para pengacara 02 itu ingin menegakkan kebenaran? Ini yang sangat disangsikan. Belum apa-apa mereka mengatakan gugatan 01 tidak punya bukti. Pernyataan seperti ini menunjukkan mereka bukanlah pengacara yang ingin membentangkan kebenaran.
Indikasi lain bahwa tim pembela 02 tidak hadir untuk menegakkan kebenaran adalah inkonsistensi atau kemencelamencelean ketua tim pembela 02 sendiri, yaitu Prof Yusril Ihza Mahendra. Sebagai contoh, menjelang pilpres 2019 atau tepatnya pada 30 Maret 2018, Prof Yusril mengatakan “Jangan sampai 2019 orang seperti ini (maksudnya Jokowi-red) berkuasa lagi, bikin susah kita semuanya.”
Apa yang terjadi setelah itu? Ketika paslon Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menggugat hasil pilpres 2019, justru Yusril Ihza sendiri yang menjadi ketua tim pembela Jokowi-Ma’ruf.
Anda ingat “kejujuran” Yusril menilai pilpres 2024 ini? Dia mengatakan Gibran ikut pilpres melalui nepotisme Paman Anwar Usman di MK adalah tindakan problematik. Alias banyak problem, penuh masalah.
Apa yang terjadi setelah itu? Lagi-lagi Yusril Ihza mengetuai tim pembela kemenangan curang, kali ini kemenangan Pabowo-Gibran.
Mengapa bisa seperti itu? Dalam banyak contoh kasus, inkonsistensi dilakukan oleh seseorang antara lain karena dia tidak punya integritas. Integritas menjadi sirna karena modal utamanya, yaitu moralitas, tidak lagi ada di dalam diri seseorang.
Sebagai tambahan, inkonsistensi itu dalam bahasa lainnya bisa berarti “lain kata kata, lain perbuatan”. Atau, pendirian yang labil secara konstan. Untuk Prof Yusril, konsistensi beliau adalah inkonsistensi itu. Frasa “lain kata, lain perbuatan” itu sangat menyengat dan mengerikan kalau dirujuk kepada peringatan ilahiyyah yang termaktub di QS Ash-Shaaf (61): 2-3.
Yang paling berat dalam proses pembelaan hasil pilpres curang itu adalah: si pengacara paham bahwa kecurangan TSM itu terjadi. Namun, dia tetap melakukan pembelaan.
Bagi orang-orang yang benar dalam sholat, atau kukuh moralitasnya bagi yang tidak melaksanakan sholat, maka pembelaan hasil pilpres curang tidak akan mereka lakukan. Kita beharap Prof Yusril akan menegakkan kebenaran.
Mengapa kita berharap? Karena kita hanya bisa berharap. Tak lebih dari itu. Sebab, kita tidak tahu deal-deal seperti apa yang telah disepakati antara 02 dan tim pengacara.
Kata orang, “tidak ada makan siang yang gratis”. No such thing as free lunch. Hanya Prabowo-Gibran yang menjanjikan itu dengan ceroboh.