MENGAPA MARGIN PROFITABILITAS E-COMMERCE RENDAH

Opini1151 Views

Oleh : Siswa Rizali
Anggota Komite Investasi dan Penempatan, Badan Pengelola Keuangan Haji

Akuisisi Tokopedia oleh TikTok memberikan gambaran tantangan yang dihadapi Tokopedia meski telah berdiri 14 tahun dan men dominasi pasar Indonesia.

Tantangan serupa dialami e-commerce di berbagai negara. Amazon sebagai pionir e-commerce ternyata segmen ritelnya memiliki margin yang sangat rendah.

Secara total pendapatan Amazon 2023 mencapai US$575 mili-ar dan laba operasional seki-tar Rp36,9 miliar, atau ope-rating income margin 6,4%.
Margin laba operasional keseluruhan tersebut menu-tupi margin segmen ritel yang lebih rendah: 4,2% di segmen ritel AS dan negatif 3,6% di segmen ritel global. Jadi rata-rata margin laba operasional ritel Amazon hanya 2,5%.

Dari total laba operasional Amazon sebesar US$24,6 miliar, memang sebagian besar (86%) berasal dari laba bisnis cloud AWS.
Coupang (Korea Selatan) secara sempurna meniru seg-men ritel Amazon. Coupang membangun lebih 100 fulfill-ment center di Korea, sehingga 70% populasinya berada sekitar 10 km dari fulfillment center tersebut.

Korea Selatan memi-liki PDB sekitar US$1,7 triliun (terbesar ke 13 di dunia), PDB per kapita mencapai US$32.000 (tertinggi ke-30 di dunia), dan 81% penduduknya di daerah urban, menjadikan Korea wila-yah yang sangat ideal untuk mengembangkan bisnis e-commerce.
Ternyata margin laba operasional Coupang hanya 1,84% (periode satu tahun per September 2023).
Sedangkan JD.com (China) memiliki margin laba opera-sional 2,72%, sedikit lebih baik dari Coupang dan seg-men ritel Amazon. Meskipun Amazon, Coupang, dan JD.com adalah perusahaan e-commerce yang menggunakan digital analytic dan robot, ternyata margin labanya di bawah margin laba ritel konvensional seper-ti Alfamart (AMRT) yang mencapai 2,97%.
Studi Alvarez & Marsal (2021) pada 250 ritel (kon-vensional dan daring) di Eropa (Francis, Inggris, Italia, Jerman, Spanyol, dan Swiss) menunjukkan margin laba sebelum pajak perusahaan e-commerce pada 2020 hanya 1,4%, turun dari 3,2% di 2011.
Margin laba tersebut kurang dari sepertiga margin laba rata-rata ritel Eropa yang men-capai 4,5%. Tren penurunan margin laba ritel Eropa sendiri (dari 6,4% pada 2012) dipicu persaingan dari e-commerce.Berbagai promosi sering menggambarkan e-commerce sebagai bisnis yang ‘Mudah tanpa biaya’. Tetapi mengapa e-commerce sulit memperoleh laba? Bagaimana pun adopsi e-commerce merubah proses bisnis yang berdampak pada: peningkatan intensitas kom-petisi, proses pelayanan, dan logistik last mile delivery ke konsumen.

Pertama, e-commercemeningkatkan intensitas per-saingan harga. E-commerce memungkinkan calon pembeli membandingkan harga antara penjual secara instan dengan biaya pencarian informasi (search cost) minimal.
Pada ritel konvensional, perban-dingan harga produk antar toko tidak mudah dilakukan, karena ada jarak dan memer-lukan waktu untuk melakukannya. Karena perbandingan harga e-commerce sangat instan, konsumen cenderung mencari harga termurah sehingga mendorong penjual melakukan kompetisi harga yang mengurangi margin laba.Kedua, promosi bebas biaya (ongkos) kirim. Sebagai promosi belanja secara daring, pembeli tidak dikenakan biaya ongkos kirim.
Konsumen juga sangat mem-perhatikan aspek ongkos kirim sebagai salah satu pertimbangan dalam membeli. Sebaliknya bila belanja di mal/toko, biaya distri-busi barang dari mal/toko ke konsumen ditanggung oleh konsumen.

Bila ecommerce bebas ongkir, semua biaya logistik dari gudang ke konsumen ditanggung oleh penjual. Apalagi kondisi jalan dan perumahan yang banyak sangat semrawut di negara berkembang seperti Indonesia. Potensi barang rusak, salah kirim, dan retur menjadi beban biaya logistik yang sangat mahal.
Ketiga, satuan nilai transaksi e-commerce yang kecil. Bila konsumen belanja ke ritel konvensional, biasanya akan membeli berbagai barang dalam sekali pergi.
Konsumen akan membeli sekeranjang barang, sehingga nilai transaksi rata-rata naik. Promosi bebas ongkir e-commerce mendorong konsumen membeli satu barang paling murah di satu toko daring, menurunkan nilai satuan transaksi.
Keempat, kompetisi yang ketat antar e-commerce dan ekspansi yang fokus ke akuisisi pelanggan baru menyebabkan biaya akuisisi pelang-gan (customer acquisition cost) sangat mahal. Di sisi lain, pelanggan tidak loyal sehingga nilai rata-rata pendapatan dari pelanggan terse-but (customer lifetime value) rendah dan sulit menutupi biaya-biaya promosi dan biaya akuisisi pelanggan.
Kelima, ekspansi e-com-merce yang cepat tidak diser-tai investasi aspek logistik dan last mile delivery yang memadai. Padahal keunggulan e-commerce sukses seperti Amazon, Coupang, dan JD.com yang berhasil untung karena investasi intensif di sistem logistik, berupa ful-fillment center modern yang integral dengan sistem last mile delivery ke konsumen.
Kombinasi faktor peningkatan kompetisi, promosi bebas ongkos kirim, satuan nilai belanja yang kecil, dan tingginya biaya logistik last mile delivery ke konsumen membuat bisnis e-commerce memiliki margin laba yang sangat rendah bahkan merugi.

Tanpa investasi yang memadai di fulfillment center dan last mile delivery, maka e-commerce tidak lebih unggul daripada ritel kon-vensional. Dan e-commerce harus kreatif mencari pendapatan selain dari segmen ritel untuk dapat memperbaiki margin operasionalnya.
Saat ini jaringan ritel konvensional Alfmart dan Indomaret juga mengembangkan layanan di gital. Shopee juga agresif ekspansi di Indonesia. Maka wajar bila Tokopedia berkoalisi dengan TikTok untuk dapat memenangkan kembali persaingan e-commerce yang tetap tinggi dan prospek laba yang minim.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *