MENELISIK RUANG GELAP KUOTA IZIN IMPOR

Opini1309 Views

Oleh : Firman Bakrie A
Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia

Pada 10 Maret 2024 tataniaga impor di Indonesia akan mengalami perubahan yang sangat masif. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 telah melakukan unifikasi atas sejumlah aturan terkait dengan tataniaga impor dari sejumlah komoditas.

Jumlah komoditi yang diatur semakin banyak dan rumit, namun sayangnya belied baru ini masih menyimpan ruang gelap dalam pemberian izin berdasar kuota.

Kuota yang dimaksud disini adalah sejumlah besaran quantity impor secara nasional yang kemudian didistribusikan kepada masing-masing pemohon izin impor. Namun karena besarannya dan cara distribusinya yang masih belum transparan sampai bisa ditetapkan siapa mendapatkan berapa, inilah ruang gelap yang ada dalam tataniaga impor.

Meskipun secara de jure dalam belied maupun aturan teknis lainnya tidak akan pernah bisa ditemukan pasal/ ayat yang menyatakan bahwa persetujuan impor adalah izin berbasis kuota. Namun kita akan langsung menjumpai bahwa persetujuan impor diterbitkan dengan koreksi jumlah permohonan impor.

Penilaian kelayakan atas persetujuan impor dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan review atas kelayakan administrative pemohon. Evaluasi selanjutnya dilakukan berdasar pada temuan lapangan yang menunjukkan kemampuan perusahaan, temuan lapangan kemudian jadi bahan acuan menghitung kewajaran impor.
Sebelum keluar rekomendasi yang menerangkan jumlah/ quantity yang boleh diimpor kementerian melakukan pertimbangan berdasar pada neraca pasokan dan kebutuhan nasional serta kontribusinya terhadap perekonomian nasional.

Berbeda dengan sejumlah izin usaha pada umumnya, dimana persetujuan hanya didasarkan pada kelengkapan administratif atau berdasar pada kelayakan kualitas berdasar standar yang dimiliki perusahaan. Belied persetujuan impor seolah ingin membatasi lalu lintas perdagangan impor dengan membatasi berdasar kebutuhan/ kuota yang ditetapkan.

Pemberian kuota berbasis pada review kementerian tanpa pengaturan rumusan yang baku, pada gilirannya akan mengakibatkan adanya ketidakpastian. Akan ada perusahaan penerima privilege dan disadvantage. Namun demikian dalam hal bahwa pembagian ini berada pada ruang tertutup, maka tidak akan pernah terungkap siapa penerima privilege impor yang mengakibatkan angka impor naik.

Karena ada izin berdasar quantity/ kuota, maka data perusahaan penerima privilege kuota tidak boleh ditutup sebagaimana berlaku pada perizinan usaha seperti umumnya. Karena kuota bisa menjadi privilege bagi perusahaan tertentu namun juga bisa menjadi disinsentif pada perusahaan yang lain.
Menjadi kewajiban bagi pemerintah pemberi izin kuota untuk melakukan disclosure terhadap siapa saja penerima izin dan berapa kuota yang diberikan. Ketertutupan informasi atas sejumlah hal mulai dari angka patokan dasar secara nasional.

Rumus pembagian jumlah kuota bagi perusahaan, siapa saja penerima kuota dari kementerian dan berapa besaran kuota yang diberikan akan menjadi ruang gelap yang berpotensi menjadi sumber permasalahan impor di Indonesia.

Masalah ini tidak semata akan merugikan perusahaan tetapi juga akan berdampak pada pelaksana dari aturan ini.
Keterbukaan data siapa saja penerima kuota penting untuk memastikan bahwa kementerian tidak memberikan over kuota yang berpotensi merugikan ekonomi nasional. Disisi lainnya pemberian izin under kuota, manakala terkait dengan izin impor bahan baku nyatanya hal tersebut juga berpotensi berdampak negatif terhadap ekonomi nasional.

Selain itu supaya bisa terwujud persaingan yang sehat antar pelaku usaha, jangan sampai perizinan impor menjadikan persaingan tidak sehat dengan memberikan privilege kepada satu perusahaan tertentu. Termasuk jika kemudian terjadi barrier to entry atas persaingan bagi pelaku usaha baru atau kecil.

Dalam praktiknya kuota impor ini secara terbatas sudah pernah dilakukan. Namun karena pemberian kuota yang berbeda-beda ini bersifat tertutup hal ini menyebabkan angka impor tetap naik. Sementara itu, pada saat impor naik masih ada pemohon yang kuotanya dipangkas oleh kementerian.

Bagi perusahaan yang kuotanya kecil menjadi dirugikan karena adanya pesaing yang mendapatkan kuota lebih besar. Bagi penerima kuota kecil menjadi semakin rugi pasalnya dampak kenaikan impor diikuti dengan pengaturan yang semakin mempersulit impor mereka. Dimana diasumsikan mereka menjadi tertuduh sebagai penyebab akan adanya kenaikan impor.
Ruang tertutup izin impor ini sebenarnya juga terjadi manakala masih terdapat selisih jumlah izin impor yang tercatat di Badan Pusat Statistik dengan data International.

Selisih data ini pada gilirannya dapat menjadi indikasi masih adanya impor illegal yang masuk pada pasar domestik.
Dengan adanya produk ilegal yang masuk ke pasar domestik dan kondisi tersebut tidak dihitung sebagai variabel penetapan kuota impor maka ini akan berpotensi menjadi ruang gelap yang akan menggangu dunia usaha. Akibatnya pelaku usaha yang jujur akan kembali menjadi korban dari adanya impor ilegal.

Ruang gelap lainnya manakala penunjukkan pihak swasta sebagai pelaksana delegasi kewenangan bersifat oligopoli. Dimana pelaksana hanya akan ditunjuk sejumlah perusahaan secara terbatas yang rentan terjadi pengaturan harga.
Jika mengacu pada semangat belied ini, sejatinya memiliki tujuan yang mulia. Namun apabila pengaturannya cenderung lemah, yaitu tidak didukung data yang memadai, detail dan transparan maka alih-alih akan mencapai tujuan mulia tadi, sebaliknya akan menjadi simalakama bagi dunia usaha Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *