Oleh: Asyari Usman
Jurnalis Senior FNN
Sudah lima hari berlalu. LaNyala Mattalitti, ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD), mendukung penambahan masa kekuasaan Jokowi dua atau tiga tahun. Tentu saja melalui penundaan pemilu 2024. Termasuk penundaan pilpres.
Pernyataan LaNyala di depan Munas HIPMI pada 21 November 2022 itu masih menjadi pembicaraan luas. Mengapa? Mungkin disebabkan rasa heran publik, mengapa LaNyala tiba-tiba berbalik arah.
Sulit dipercaya. Bagaimana mungkin LaNyala putar haluan begitu saja. Tak ada angin, tak ada petir. Padahal, dalam setahun ini LaNyala menunjukkan tentangan kerasnya terhadap penambahan masa kekuasaan Jokowi.
Kenapa LaNyala mendadak berubah total? Apa yang salah? Dan bagaimana dengan perlawanan terhadap penambahan masa kekuasaan Jokowi?
Tidak mudah menjawan pertanyaan-pertanyaan ini. Tapi, kalau dilihat catatan masa lalu LaNyala, perubahan mendadak itu tidak mengherakan. Sebab, LaNyala pada dasarnya adalah pendukung Jokowi. Di pilpres 2019, sebagai contoh, Pak Nyala ikut aktif mengkampanyekan kemenangan Jokowi.
Emosi dan loyalitas LaNyala untuk Jokowi sampai memunculkan kasus “potong leher”. Di pilpres 2019, LaNyala berucap “Potong leher saya kalau Prabowo menang di Madura.”
Sumpah ini ditagih setelah Prabowo menang. LaNyala berkilah. Lehernya tak jadi digorok.
Dulu, pada pilpres 2014, LaNyala memojokkan Jokowi. Dia menyebut petugas partai PDIP itu terlibat PKI, Kristen dan keturunan Tionghoa. Tetapi pada 28 Oktober 2018, LaNyala bertemu langsung dengan Jokowi. Dia meminta maaf atas ucapannya. Jokowi mengatakan dia memaafkan LaNyala.
Dalam pertemuan dengan para ulama di masjid Baitussalam, Bogor, pada 21 November 2018, Jokowi menunjukkan kemarahannya terhadap tudingan bahwa dia PKI. Di depan para ulama, Jokowi menjawab apa yang ia sebut fitnah itu.
“Saya sudah empat tahun ini banyak isu, ada isu tapi saya tidak pernah menjawabnya, tapi kali ini mumpung bertemu para ulama saya ingin sampaikan,” kata Jokowi.
Ungkapan kemarahan dilanjutkan Jokowi ketika membagi-bagikan sertifikat tanah di Lampung Tengah pada 23 November 2018. Dia berkata, dia akan mencari orang yang memfitnahnya. Jokowi mengatakan dia akan menabok orang itu.
Menyusul peringatan keras Jokowi itu, LaNyala pun kelihatan tersindir. Walaupun dia sudah meminta maaf dan Jokowi menerimanya. Memang tidak jelas siapa yang dimaksud Jokowi “mau saya tabok, orangnya di mana, saya cari betul” (Tempo, 11 Desember 2018).
Pada 11 Desember 2018, LaNyala mendatangi Kiyai Ma’ruf Amin di Jakarta. Kiyai Ma’ruf waktu itu berstatus sebagai cawapres Jokowi untuk pilpres 2019. LaNyalla menyatakan dia akan memenangkan Jokowi-Ma’ruf. Mantan Ketua MPW Pancasila Jawa Timur ini memang habis-habisan mengkampanyekan Jokowi. Sekaligus, LaNyalla meninggalkan Prabowo yang semula didukungnya.
Setelah Jokowi duduk sebagai presiden 20 Oktober 2019, pelan-pelan LaNyala menjauh. Di bulan Juni 2021, mantan ketua umum PSSI (2012-2016) ini mulai mengkritik Jokowi. LaNyalla mengatakan dia telah mengunjungi 32 provinsi. Dia melakukan diskusi dengan berbagai simpul masyarakat, terutama kalangan perguruan tinggi. Dia simpulkan bahwa keadaan amburadul yang melanda Indonesia akhir-akhir ini bukan karena masalah yang terjadi di hilir melainkan karena masalah di hulu.
Pernyataan Ketua DPD ini menurujuk pada kebijakan Jokowi yang berada di hulu masalah. Indikator utamanya adalah pengurasan sumber daya alam daerah dan kemiskinan akut di daerah. Sinyalemen LaNyalla ini sebetulnya juga kesimpulan yang dirumuskan oleh para ekonom senior. Artinya, Jokowi bukan presiden yang prorakyat. Dia adalah presiden untuk para konglomerat hitam yang tergabung dalam oligarki bisnis.
LaNyalla semakin tajam. Dalam banyak kesempatan dia menunjukkan sikap yang berseberangan dengan Jokowi. Dia pun bersumpah akan menghadang upaya Jokowi untuk berkuasa tiga periode maupun mendapatkan perpanjangan masa jabatan 2-3 tahun lewat penundaan pemilu/pilpres 2024.
Sepanjang 2022, LaNyalla menjadi salah satu bintang oposisi. Di bulan Maret, LaNyalla mengajak para ulama untuk menolak perpanjangan masa jabatan Jokowi. Dia juga mencela Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) yang bermaksud mendeklarasikan Jokowi tiga periode.
Bulan berikutnya (April) dia mengkritik tindakan Jokowi melarang ekspor CPO (minyak sawit) di tengah krisis minyak goreng. Seminggu sebelumnya, LaNyala memperingatkan agar Luhut Panjaitan menghentikan polemik penundaan pemilu 2024. Seiring dengan itu, ketua DPD meremehkan Big Data yang sempat dimunculkan oleh Menko Marinves tersebut.
Kritik LaNyalla keluar bertubi-tubi. Dia dinilai berani menghadapi Luhut yang kekuasaannya sangat besar. Seterunya pada bulan Mei 2022, LaNyalla membuka pintu bagi pihak-pihak yang ingin memakzulkan (meng-impeach) Presiden Jokowi. “Saya tak bisa menghalanginya,” kata LaNyalla.
Karena keberaniannya mengkritik penguasa, sejumlah elemen masyarakat di Jawa Timur mendeklarasikan LaNyalla sebagai capres 2024. Dia dihormati kaum buruh karena berani menentang Omnibus Law (UU Cipta Kerja). Ia tampak serius melawan undang-undang yang disebut tak berpihak kepada rakyat itu. Di DPD, La Nyalla membentuk pansus (panitia khusus) Omnibus Law.
Nama LaNyalla semakin harum. Dia dikatakan sebagai pimpinan lembaga tinggi negara yang membawa aspirasi daerah. LaNyalla menjadi salah satu harapan rakyat untuk menghentikan kesewenangan.
Publik berharap LaNyala, sebagai penjaga konstitusi, akan menutup rapat upaya untuk memperpanjang masa jabatan Jokowi beberapa tahun atau bahkan mendapatkan tiga periode. Dia konsisten menentang.
Tetapi, entah karena apa, LaNyalla mendadak mempersilakan Jokowi melanjutkan kekuasaan dua tahun atau tiga tahun seperti diuraikan di bagian awal tulisan ini. Pemilu/pilpres 2024 ditiadakan. Hanya dengan syarat diterbitkan dekrit untuk kembali ke UUD 1945 asli.
Kata LaNyalla, Jokowi perlu tambahan 2-3 tahun karena selama dua tahun belakangan Presiden habis waktunya karena Covid-19. Jadi perlu semacam “injury time” untuk Jokowi.
Nah, itukah satu-satunya motif LaNyalla? Tak masuk akal. Meskipun dia bersumpah tidak punya tujuan lain. Di tengah upaya gencar untuk menjegal Anies Baswedan ikut pilpres, dan berpeluang besar untuk menang, usul penundaan pemilu/pilpres 2024 dari LaNyalla hanya cocok untuk dikaitkan dengan skenario ini.
Publik sulit menerima penjelasan LaNyalla bahwa dia semata-mata ingin mengembalikan UUD 1945 dengan naskah asli. Mantan politisi Gerindra ini pastilah akan dituding ikut menjegal Anies.
Kemungkinan lain ialah LaNyalla mau menjebak Jokowi agar melanggar konstitusi. Dugaan ini sangat lemah. Sebab, langkah-langkah yang menyerempet pelanggaran UUD sudah sering dilakukan Jokowi. Dia tidak peduli.
Ada satu hal yang pasti. Bahwa LaNyalla terkenal zig-zag. Watak seperti bertentangan dengan keinginan rakyat akan perubahan dan perbaikan Indonesia. Usul perpanjangan masa jabatan Jokowi sama dengan perpanjangan kekuasaan Oligarki.