Oleh: Masyita Crystallin
Co-Sherpa Koalisi Menteri Keuangan Untuk Perubahan Iklim
Transisi menuju energi hijau tidak sesederhana mematikan pembangkit berbahan bakar fosil lalu menggantinya ke energi terbarukan. Di baliknya, terdapat proses yang kompleks, pertimbangan yang adil, dan tentunya biaya yang tidak sedikit.
Menurut laporan IPCC, proses transisi untuk mencapai target kenaikan suhu maksimal 1.5˚C membutuhkan US$1,6 triliun—US$3,8 triliun per tahun hingga 2050. Ini belum menghitung biaya aset terdampar (stranded asset) yang bisa mencapai US$300 miliar jika target kenaikan suhu maksimal 2˚C.
Persoalannya, siapa yang harus membayar biaya ini? Beberapa berpendapat bahwa negara maju, yang selama ini berkembang dengan menggunakan sumber energi tinggi karbon, perlu mengompensasi negara miskin/berkembang yang belum sempat melakukan ini secara maksimal tetapi ikut merasakan dampak perubahan iklim.
Logika ini diterima dan bahkan negara maju berjanji akan mengalokasikan dana untuk perubahan iklim sebesar US$100 miliar per tahun pada Copenhagen Accord di 2009 saat COP15. Namun, hingga saat ini, target ini tak pernah tercapai dan sistem pemantauan dan evaluasi belum terbentuk.
Transisi adalah syarat mutlak menuju ekonomi rendah karbon. Namun, pembiayaan transisi, baik sisi penawaran maupun permintaan, menghadapi tantangan yang tidak mudah.
Dari sisi penawaran, tantangan utamanya adalah minimnya konsensus pasar, standar, dan kejelasan tentang definisi pembiayaan transisi yang kredibel dan bagaimana mengklasifikasikannya. Akibatnya, muncul risiko aktivitas transisi palsu dan menyebabkan ketakutan investor akan “greenwashing” atau “transition-washing”.
Tantangan lain termasuk risiko reputasi bagi investor karena mereka akan dianggap membiayai sektor beremisi tinggi. Persoalan Ini tecermin dari data yang menunjukkan porsi transition bonds terhadap keseluruhan sustainable bonds baru mencapai 1%.
Padahal, dari sisi permintaan, kebutuhannya begitu besar. Di Asia-Pasifik, misalnya, pemensiunan dini PLTU diperkirakan membutuhkan biaya jumbo mengingat usia PLTU yang masih muda. Di Asia Tenggara, per 2020, rata-rata usia PLTU adalah 11 tahun, di Eropa dan Amerika masing-masing 34 dan 41 tahun.
Mengingat tantangan yang ada, perlu dibuat ekosistem yang mampu memastikan kredibilitas dan viabilitas proyek transisi tersebut. Pertama, membangun ekosistem pembiayaan transisi dapat dimulai dengan penetapan taksonomi hijau. Di kawasan Asean, Asean Taxonomy baru saja diperbarui pada 27 Maret 2023. Taksonomi Asean versi dua ini dibentuk untuk meningkatkan interoperability dengan taksonomi EU dan taksonomi nasional negara-negara yang dalam tahap pengembangan seperti China, Korea Selatan, Jepang, dan negara-negara Asean.
Standar ini akan makin membuka keran pembiayaan berkelanjutan di Asia Pasifik yang sudah meningkat pesat akibat permintaan pembiayaan ESG yang terus tumbuh. Menurut S&P Global, penerbitan obligasi berlabel ESG tahun 2022 mencapai US$200 miliar dan diperkirakan tumbuh hingga 20% pada tahun ini.
Dalam taksonomi Asean, aktivitas dikelompokkan dengan mekanisme traffic light yang terdiri dari green, amber, dan red berdasarkan framework, kriteria, dan objektifnya. Untuk aktivitas dengan objektif tertentu, pengelompokkan juga dibagi ke dalam beberapa tingkatan (tiers). Aktivitas Tier 1 setara dengan aktivitas green, sedangkan aktivitas Tier 2 dan Tier 3 masuk dalam pengelompokan amber. Kriteria Tier 2 dan Tier 3 pada amber berbeda-beda untuk tiap objektif.
Dengan adanya sistem klasifikasi baru ini, aktivitas transisi, termasuk pemensiunan PLTU batu bara, mendapatkan pengakuan. Pemensiunan PLTU batubara kini dapat masuk Tier 1 (green) Amber Tier 2, maupun Amber Tier 3. Penentuan ini sesuai dengan periode pembuatan batu bara, periode phase-out batu bara, penggunaan teknologi, dan status verifikasi batu bara (berlaku untuk Tier 1).
Sebagai ilustrasi, jika batu bara dibangun sebelum 31 Desember 2022 dan memiliki komitmen kredibel untuk dipensiunkan sebelum 2040, serta memenuhi ketentuan teknologi yang dibutuhkan, maka proyek tersebut berhak mendapat label hijau.
Kedua, untuk memastikan proyek transisi kredibel, dibutuhkan mekanisme disclosure dan reporting yang dapat membuktikan beberapa kriteria penting seperti: additionality; measurable, dan independently verifiable.
Dalam konteks ini, issuers harus dapat membuktikan bahwa proyek transisi bersifat additional atau pengurangan emisi dari proyek itu harus melebihi pengurangan emisi dalam skenario business as usual. Pengurangan emisi juga harus dapat dapat diukur secara akurat dan diverifikasi secara saintifik. Untuk memastikan itu semua, diperlukan verifikasi oleh pihak ketiga yang independen dan mengikuti standar global.
Ketiga, untuk membuat proyek transisi financially viable, perlu ekosistem yang mendorong inovasi instrumen pembiayaan. Salah satu instrumen yang potensial adalah Sustainability Linked Bonds (SLB).
SLB adalah instrumen utang dengan syarat di mana penerbit harus mencapai target keberlanjutan dalam waktu yang telah ditentukan. Jika penerbit tidak dapat memenuhinya, maka penerbit harus membayar bunga yang lebih tinggi kepada investor.
Obligasi jenis ini telah menarik minat banyak investor karena kriterianya lebih fleksibel dibandingkan dengan green bonds.
Tahun 2021, penerbitan SLB naik dua kali lipat, dari hanya 26 SLB di 2020 menjadi 59 pada tahun berikutnya.
Di kawasan Asia Pasifik, pasar SLB telah terbentuk di negara-negara seperti China, Jepang, Australia, India, dan Malaysia. Ke depan, SLB dapat menjadi sumber pertumbuhan baru untuk pembiayaan berkelanjutan di kawasan.
Berbagai regulasi yang tengah dikembangkan seperti taksonomi Asean dan taksonomi nasional negara Asia Pasifik akan membuka peluang baru di masa depan. Adanya kejelasan matriks dan transparansi dari regulasi dan taksonomi ini diharap dapat memperluas penerbitan SLB di tahun-tahun selanjutnya.
Taksonomi dan toolbox untuk memastikan proyek transisi yang kredibel diharapkan dapat membuka friksi pembiayaan dari sisi penawaran. Di saat yang sama, hambatan di sisi permintaan dapat berkurang seiring berkembangnya inovasi instrumen pembiayaan yang lebih fleksibel dan akomodatif terhadap variasi karakteristik proyek.