KUALITAS CAPRES, NILAI SEJATI ATAU NILAI PASAR?

Opini1715 Views

Oleh : Ana Mustamin

Saya sering mengambil analogi bursa efek dalam menganalisis jalannya pemilihan presiden dan calon presiden. Meski tidak persis sama, namun ada sejumlah perangkat analisis yang bisa digunakan untuk membuat keputusan.

Dalam berinvestasi di bursa efek, investor umumnya menggunakan dua jenis analisis untuk menilai sebuah saham apakah layak dibeli atau tidak. Analisis itu adalah analisis teknikal dan fundamental.

Analisis teknikal dilakukan untuk menelaah pola pasar, mengamati permintaan dan penawaran. Analisis ini bermanfaat untuk memprediksi probabilitas rangkaian kejadian, tetapi bukan kejadian aktual. Bagi investor sejati, analisis ini tentu tidak diabaikan. Namun bagi spekulan, kepentingan pembahasan pergerakan pasar tidak terlalu berguna karena analisis ini dianggap kurang memiliki landasan teoritis selain penegasan bahwa harga ditentukan oleh penawaran dan permintaan, dan bahwa pengalaman masa lalu relevan dalam memprediksi masa depan.

Dalam kampanye pilpres, analisis teknikal digunakan para tim kampanye dengan mengacu dan menilai pemilu presiden periode sebelumnya dan pemilu legislatif. Salah satu pengalaman masa lalu misalnya, antara lain bahwa partai pemenang pemilu yang mengusung calon presiden tertentu tidak selalu berbanding lurus dengan suara masyarakat ketika mereka memilih presiden. Demikian juga bahwa janji-janji kampanye tidak selalu dipenuhi oleh calon yang akhirnya berkuasa. Bahwa rangkaian kejadian dari pemilu satu ke pemilu berikutnya tidak selalu menunjukkan konsistensi figur. Informasi ini tentu cukup berharga dan (seharusnya) mengontribusi penyusunan strategi kampanye dan penggalangan/koalisi masing-masing capres.

Bagi pengamat ekonomi dan pelaku pasar, analisis fundamental, biasanya lebih menarik karena ini merupakan hasil pengembangan teori ekuilibrium (keseimbangan). Di bursa, saham dianggap memiliki nilai sejati (true value) atau nilai fundamental (fundamental value) yang berbeda dari “harga pasar” yang berlaku untuk saham tertentu.

Nilai fundamental (nilai sejati) suatu saham dapat diterapkan sekaitan dengan daya-laba (earning power) dari aset yang mendukungnya (underlying assets) atau sekaitan dengan nilai fundamental dari saham-saham lain. Dengan cara yang mana pun, harga pasar suatu saham dianggap cenderung mengarah ke nilai fundamentalnya selama satu kurun waktu sehingga analisis nilai fundamental memberikan pedoman yang berguna untuk keputusan investasi.

Bagaimana dengan keputusan memilih calon presiden (dan calon wakil presiden)?

Capres pada dasarnya memiliki nilai sejati atau nilai fundamental sebagai ‘aset’ yang mendukungnya. Nilai ini antara lain bersumber dari pencapaian dan karakteristik pribadi masing-masing capres dihadapkan dengan sekumpulan pencapaian dan karakteristik ideal – diyakini secara teoritis – yang seharusnya dimiliki seorang pemimpin suatu negara.

Secara ideal, seorang pemimpin paling tidak memiliki kemampuan untuk memengaruhi orang lain (influence) dengan cara mendorong, memotivasi dan membimbing orang lain untuk berpikir atau bertindak; memiliki visi yang jelas yang ingin dicapai di masa depan; jujur dan bisa dipercaya (honestly); bersemangat (passion) tinggi; memiliki integritas (integrity) yang mengacu pada sikap tulus dalam memutuskan untuk melakukan hal yang benar setiap saat; berdedikasi (dedication) dan menunjukkan dedikasinya dengan menepati janji dan menaklukkan tantangan untuk mencapai tujuan; memiliki kemampuan untuk memahami perasaan dan emosi orang lain (emphaty) dan merespons tindakan dan perilaku dengan cara yang menunjukkan pemahaman terhadap perasaan orang lain.

Seoarang pemimpin juga selalu bersemangat untuk melanjutkan pengembangan pribadi (personal development) karena tahu selalu ada hal baru yang dapat dipelajari; memiliki rasa hormat (respect) mengacu pada perasaan kagum terhadap kualitas, kemampuan, atau pencapaian seseorang dan menghargai hak, keinginan, dan perasaan orang lain; memiliki ketahanan (resilience) untuk menghadapi kesulitan; mampu beradaptasi (adaptibility) terhadap setiap perubahan; memiliki sifat dan sikap yang otentik (authenticity) yang bersumber dari kejujuran pribadi; serta memiliki kerendahan hati (humility) yang memungkinkan para pemimpin untuk tetap sehat secara etis dan moral.

Tentu saja, tidak ada seorang pun yang memiliki semua karakteristik ideal tersebut. Namun demikian, kita bisa menyepakati bahwa semakin besar irisan (intersection) antara karakteristik pribadi dengan karakteristik ideal dimaksud, tentu semakin tinggi nilai sejati atau nilai fundamental seorang pemimpin.

Dalam dua kali debat capres dan sekali debat cawapres yang diselenggarakan oleh KPU, nilai fundamental capres sedikitnya terkuak dan diakses oleh masyarakat luas.
Yang paling mudah diamati misalnya siapa capres yang agresif, atau siapa capres yang bisa mengendalikan atau sebaliknya sulit mengendalikan emosi. Nilai fundamental atau nilai sejati capres juga bisa diukur melalui konsistensi mereka dalam bersikap dan mengemukakan pendapat, dan bagaimana kata dan perbuatan tidak saling bertentangan. Di luar itu, masyarakat tentu berupaya mencari rekam jejak dari masa lalu masing-masing capres.

Akan tetapi, sekali lagi, pemilu bukan persaingan yang sempurna. Bahkan di bursa saham yang mendekati persaingan sempurna pun, investor bisa salah. Hubungan antara kondisi objektif capres (di pemerintahan/tidak di pemerintahan, latar belakang sosial ekonomi – bahkan hingga yang menyangkut ras, agama dan golongan), dan nilai fundamental capres, bukan hal yang bisa diasumsikan bersifat searah. Kondisi objektif tersebut memang menentukan “nilai relatif” atau “nilai pasar” capres di mata publik – namun nilai tersebut bisa saja sama dan sebangun dengan nilai fundamental, namun bisa juga bertentangan.

Valuasi nilai capres terus berlangsung dari waktu ke waktu. Bukan hanya melalui serangkaian aksi kampanye yang dilakukan oleh tim pemenangan capres atau oleh capres itu sendiri. Tapi juga oleh masyarakat pendukung melalui media sosial.

Pengaruh faktor-faktor di atas, tentu saja sepenuhnya memengaruhi peringkat elektabilitas. Bahwa sebagian besar masyarakat menentukan pilihannya lebih mengacu pada “nilai pasar” capres misalnya, ini poin penting yang harus dipahami.

Termasuk memahami bagaimana tim pemenangan mengelola “nilai pasar” tersebut, sehingga seorang capres di masa lalu misalnya, secara relatif dapat lebih dipertimbangkan sebagai capres yang elegan, berwibawa, gagah; tapi tidak terlalu dipersoalkan sebagai seseorang yang peragu dan lamban – meskipun yang terakhir ini lebih fundamental jika ditinjau dari perspektif kepemimpinan.

Karena itu jangan heran jika kita menemukan banyak jargon dalam kampanye. “Indonesia absence no more, respected forever, aminkan saja”. Atau “gemoy dan lanjutkan”. Juga “sat set, gerak cepat, Ind0nesia unggul”. Apakah sekadar memoles “nilai pasar”? Atau memang beririsan dengan “nilai sejati atau fundamental” capres?

Anda sebagai pemilih yang menentukan. Jika Anda mengabaikan nilai fundamental, maka spekulan akan bersorak!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *