Oleh : Sumadi Dilla
Pakar Komunikasi
Sebuah cerita sejarah mengisahkan, konon pajak telah dimulai sejak zaman Firaun. Sebelum Masehi, Mesir, Yunani dan Romawi telah menerapkan pajak dalam emperium mereka. Penulis autobiografi dan sastra terkenal Denmark, Hans Christian Andersen (1805-1857), berujar jika kerajaan menaikan pajak tanpa persetujuan rakyatnya, maka raja tersebut disebut Raja Zolim & lalim. Rakyat yang tak mampu membayar pajaknya maka sang raja akan memaksa dan merampas gadis cantik desa menjadi selir sang raja atau menjadi perdagangan untuk mendapatkan tambahan uang diluar pajak. Akibat perilaku sang raja, rakyatnya memberontak.
Tiba-tiba ada sosok pahlawan muncul, untuk melawan sifat tamak, rakus dan jahat sang raja. Seketika pahlawan itu menumbangkan sang raja dan menikahi gadis tersebut. Setelah itu mereka berdua hidup happily ever after, begitupun rakyatnya bersuka cita. Penggalan kisah diatas dalam perspektif kerajaan di benua biru dan hitam, anak gadis cantik ibarat sumber kekayaan alam yang bernilai jual tinggi.
Nilai jual kekayaan itu diambil dan digunakan untuk kepentingan pribadi dan kekuatan disekelilingnya yakni oligarki dan asing. Pajak yang diambil dari rakyatnya dianggap terlalu kecil untuk membiayai perilaku Hedon sang raja dan konco-konconya.
Cerita diatas persis sama terjadi disebuah negeri Konoha.
Rakyatnya ditekan, dikendalikan bahkan dipaksa membayar pajak mengikuti kemauan sang raja. Padahal raja tersebut sebentar lagi akan turun takhta. Sang raja lupa, bahwa pengaruhnya akan sirna, kekuasaannya akan hilang dan dinastinya akan runtuh perlahan. Arogansi sang raja, menyebabkan dia lupa diri, uang pajak dan kue kekuasaan merasuki niat dan kinerjanya di penghujung masanya. Sang raja berdalih, uang pajak yang berasal dari rakyatnya sendiri secara paksa, akan memakmurkan negeri dan rakyat. Padahal itu hanyalah ilusi sang raja belaka. Rakyat dibungkam, ditekan dan dipaksa untuk taat membayar pajak yang jenis dan jumlahnya begitu banyak.
Mestinya sang raja tahu, bahwa jenis dan jumlah pajak yang banyak akan membebani rakyatnya sendiri. Akhirnya rakyat berhadapan dengan kesulitan antara mencari sumber-sumber keuangan untuk membayar pajak dan nafkah hidup mereka. Rakyat sulit mencari pekerjaan yang layak, mereka saling berebut asa dan rejeki yang cukup untuk keluarganya.
Pada satu sisi penghasilan mereka minim, mengakibatkan kehidupan mereka miskin. Di sisi lain, pada saat yang sama, mereka diwajibkan membayar pajak ke negara. Akibatnya beban hidup mereka semakin sulit, sementara tagihan pajak yang berjubel jenis dan jumlahnya memperburuk keadaan mereka.
Lagi-lagi sang raja berkelit dan berkata bahwa sebagai warga negara atau rakyat yang baik adalah taat terhadap pajak. Sementara kewajiban seorang raja atau kerajaan dari hasil uang pajak rakyatnya, tidak mampu mengurangi beban tanggungan hidup seluruh rakyatnya.
Dengan perkataan lain, kerajaan sibuk mengurus dinastinya dan terbiasa menguras rakyatnya sendiri. Sungguh miris melihat kehidupan rakyat Konoha berjuang sendiri melawan praktik kotor dan serakah aparat kerajaan yang bengis.
Berikut kisah rumit warga Konoha yang dipaksa membayar pajak oleh sang raja hingga jatuh miskin;
Seorang buruh bekerja dengan giat di satu perusahaan mendapatkan gaji menghidupi keluarganya. Setiap bulan dari gaji yang diterimanya dikenakan pajak penghasilan (PPh). Sebagian sisa gajinya ditabung, dan hasil tabungan itu kemudian digunakan membeli rumah dengan cara menyicil. Pada saat rumah itu dibeli, dia mengeluarkan biaya pajak pembelian rumah (PPn). Setelahnya, setiap tahun buruh tersebut harus membayar pajak bumi dan bangunan (pbb) atas rumah tersebut. Dua tahun kemudian, buruh pemilik rumah membeli bahan bangunan yang terkena pajak PPn untuk perbaikan rumah tersebut. Dalam catatan kekayaan, ternyata rumah tersebut merupakan harta kena pajak kekayaan, membuat buruh tersebut harus membayar pajak kekayaan. Akhirnya karena tak tahan dengan banyaknya tagihan pajak, rumah tersebut dijual, dan kembali buruh pemilik rumah tersebut terkena pajak penjualan lagi. Uang hasil penjualan rumah, kemudian dipake untuk menyewa rumah lain. Untuk sementara waktu, sang buruh yang tak memiliki rumah sendiri, tiba-tiba tersentak kaget mendengar bahwa seluruh pekerja diluar upah kerajaan diwajibkan membayar pajak perumahan, yang tak diinginkan. Buruh tersebut semakin bingung dan panik memikirkan apa yang mesti dilakukan. Di.tengah kekacauan bathinya, buruh tersebut pasrah. Dengan berbekal sisa uang penjualan rumahnya, buruh itu membeli mobil usaha yang terkena pajak pembelian mobil, yang juga terkena pajak kendaraan bermotor tahunan.
Suatu hari mobil harus mengganti suku cadang yang pada saat pembeliannya kena PPn kembali, sehingga mobil itu dijual dan kena pajak penjualan. Uang penjualan mobil digunakan untuk membeli motor yang kemudian dikenakan pajak kendaraan bermotor tahunan dan pajak kekayaan. Suatu hari motor itu rusak, dan harus membeli suku cadang motor kena pajak PPn barang lagi. Selang beberapa lama motornya dijual kembali dan kena pajak penjualan motor. Akibat terbebani pajak yang bertubi-tubi, uang hasil penjualan motor dipakai untuk membeli makanan dan minuman bersama keluarga, dengan harapan tak akan pernah lagi membayar pajak. Saking senangnya, keluarga sang buruh tak tahu kalau bahan makanannya habis, dan mereka sama-sama merasakan sakit perut lalu ke toilet, yang ternyata mereka harus bayar lagi…
Alhasil dalam nestapa dan ketidaktahuan buruh tersebut, ternyata pajak kerajaan yang bersumber dari rakyat, yang konon untuk pembangunan negeri, justru berbalik meminggirkan dan memiskinkan rakyatnya sendiri.
Semoga kisah ini menjadi hikmah dan tuntunan bagi kita semua sebagai insan pemimpin dunia.
Salam akal sehat