Oleh : Hafid Abbas
Sekjen Yayasan Pembangunan Sulawesi Selatan
Sungguh satu prakarsa bersejarah, pada 9-10 Januari 2024, Pj. Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan, Bahtiar Baharuddin, menginisiasi pelaksanaan kegiatan forum pertemuan dengan aktor-aktor ekonomi di daerah (BUMD, pengusaha, perbankan, pemerintah daerah dan investor) se-Sulawesi dengan tema “Arah Pembangunan Ekonomi Biru Sulawesi Selatan yang Mendiri, Maju dan Berkelanjutan 2045.” Forum ini didukung oleh Komite Ekonomi Sulawesi Selatan (KESS) yang dibentuk oleh Gubernur dengan diketuai oleh Tanri Abeng. KESS bertujuan untuk membangun sektor perekonomian dengan memajukan dan mengoptimalkan peran dan kontribusi BUMD di Sulsel ke depan, serta mendukung pelaksanaan program prioritas daerah yang bersinergi dengan pelaksanaan program prioritas nasional.
BUMD lahir dengan tujuan antara lain: agar berkontribusi terhadap kemajuan perekonomian daerah; meningkatkan pendapatan daerah bagi peningkatan kesejahteraan rakyat; dan mendorong partisipasi masyarakat seluas-luasnya dalam dunia usaha.
Sulawesi Selatan memiliki berbagai keunggulan, potensi ekonomi dan kekayaan alam yang dapat dikelola dengan baik agar memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Namun di sisi lain, dari sekitar 4000 BUMD di seluruh tanah air, dan 42 di antaranya berada di Sulsel (databoks, 2023). Diperkirakan kurang dari satu persen dari jumlah itu dikategorikan sehat dan maju.
Dari kenyataan itulah, KESS hadir untuk melakukan transformasi, revitalisasi dan restrukturisasi BUMD di Sulawesi Selatan dan bertekad untuk menjadikannya sebagai perusahaan daerah yang maju dan mandiri. Sistem manajemen BUMD selama ini dinilai masih tradisional, kaku, birokratis, dan hierarkis sehingga perlu ditransformasi ke sistem manajemen yang lebih berorientasi pada pencapaian tujuan, inovatif, forward looking dan lebih akomodatif dan adaptif terhadap kebutuhan pasar.
Terdapat dua pendekatan yang tampaknya dapat dilaksanakan untuk melakukan transformasi itu yakni: pendekatan reflektif dan komparatif.
Pendekatan Reflektif
Pendekatan reflektif ini dilakukan untuk menggali khasanah nilai-nilai keunggulan yang telah mengakar dalam perjalanan sejarah panjang masyarakat Sulsel di masa lalu dengan memperspektifkannya ke masa depan; dan memetik pengalaman-pengalaman berharga (best practices) dari satu masa pemerintahan dalam memajukan perekonomian masyarakat Sulsel.
Pertama, Christian Pelras dalam bukunya The Bugis (1980) mengungkap, selama lebih tiga setengah abad (1320-1669), Kesultanan Gowa-Makassar memiliki wilayah kekuasaan dan pengaruh yang cukup luas, menjangkau sebagian besar Sulawesi hingga ke Mindanau (kini Filipina), Maluku dan Nusa Tenggara, pesisir timur Kalimantan hingga ke wilayah utara (kini Malaysia), bahkan menjadi salah satu kekaisaran Islam maritim terbesar di dunia. Hal ini didukung letaknya yang strategis; mempunyai pelabuhan besar sehingga banyak disinggahi pedagang-pedagang asing seperti Portugis, Inggris, India, Denmark dan negara-negara lainnya, sehingga Makassar di kala itu telah menjadi salah satu pusat perdagangan internasional.
Peran itu semakin kuat setelah jatuhnya Kerajaan Malaka ke tangan Portugis pada 1511 yang menyebabkan pusat pedagangan dan perekonomian yang menghubungkan Asia dan Eropa di Johor Malaka beralih ke Kerajaan Gowa di Makassar. Peran pelabuhan Makassar kemudian semakin vital seiring dengan tumbuhnya pusat-pusat perdagangan dan perekonomian di kerajaan-kerajaan Islam seperti: Pattani (Thailand), Pahang, Ujung Tanah di Semenanjung Malaka, Riau, Minangkabau dan Aceh di Sumatera, Banjarmasin di Kalimantan, Demak di Jawa, dst. Pelabuhan Makassar di kala itu menjadi jembatan perdagangan dan perekonomian (trade and economic centers) Asia dan Eropa. Gowa secara resmi menjadi Kesultanan Islam pada November 1607 (The Bugis, p. 135).
Ditemukan pula satu jejak sejarah, Karaeng Pattingaloang (Sultan Alauddin), Raja Gowa ke-14 (1593-1639) telah menjalin kerjasama pertahanan dengan Kesultanan Ottoman Turki dalam pembuatan Meriam pada 1580 (The Ottoman Empire Relation with the Nusantara, p. 143)
Keadaan itu semua didukung oleh iklim ketatapemerintahan yang terbuka. Sultan Alauddin bahkan menyatakan “my country Gowa stands open to all nations and what I have is for you as well as for Portugese. Bahkan meski ia seorang raja yang telah menjadikan Gowa sebagai Kesultanan Islam, tetapi ia telah menulis surat dalam Bahasa Portugis ke Franciscan Manila untuk berkunjung ke Gowa dan akan memberinya tempat tinggal (p. 138).
Meski kesaksian sejarah itu telah terlewati sekian abad silam, semangat kebesaran Kerajaan Gowa kembali digelorakan oleh Gubernur Baharuddin pada forum pertemuan dengan aktor-aktor ekonomi daerah yang dihadiri pula sejumlah mitra dan investor dari dalam dan luar negeri.
Kedua, di era Orde Baru, sebagai Gubernur Sulsel, Achmad Amiruddin (1983-1993), telah memperkenalkan konsep ekonomi modern melalui pemetaan pewilayahan komoditas, perubahan pola pikir, dan “petik-olah-jual”, menanamkan visi ekonomi dan telah menjadikan Sulsel sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di bagian timur Indonesia dan lumbung pangan nasional.
Meski pengalaman berharga dari Gubernur Amiruddin telah terlewati 3-4 dekade silam, dan pengalaman-pengalaman berharga dari para Gubernur penerusnya, dengan mengadopsi model Dewan Ekonomi Nasional, KESS hadir untuk meneruskan dan menerapkan konsep-konsep ekonomi mana saja yang dinilai realistik dan sesuai dengan prioritas pembangunan ekonomi daerah dan nasional.
Kini, Gubernur Baharuddin tengah menggalakkan penanaman Pisang Cavendish di beberapa kabupaten di Sulsel. Potensi bisnisnya dinilai amat prospektif dengan market share Rp294,5 triliun untuk permintaan buah-buahan. Diperkirakan 17 persen dari market share itu adalah kebutuhan pisang, terutama jenis Cavendish. Kebutuhan pasar internasional terlihat lebih tinggi lagi yang selama ini hanya dipenuhi oleh Filipina dan Thailand.
Dikemukakan oleh Gubernur bahwa saat ini sudah terdapat lahan penanaman pisang sekitar 8000 hektar berbasis masyarakat dengan target lahan 500.000 hektar, tersebar di seluruh kabupaten yang layak ditanami dan dikembangkan dengan penyediaan bibit sebanyak satu miliar pohon. Kelihatannya, Sulsel dalam waktu dekat dapat menjadi penghasil pisang terbesar di tanah air. Dapat dibayangkan jika harga pisang Cavendish di supermarket Rp7000 per biji, dan satu miliar pohon dalam waktu 7-8 bulan ke depan sudah dipanen, tentu masyarakat Sulsel akan terangkat taraf kehidupannya ke golongan masyarakat maju dan sejahtera.
Pendekatan Komparatif
Pendekatan komparatif ini dilakukan untuk: membandingkan taraf kemajuan ekonomi pada satu negara atau satu institusi yang relatif setaraf atau lebih maju dari Indonesia. Apa yang menyebabkan misalnya, Petronas, satu perusahaan BUMN Malaysia, pada 2009 telah memperoleh laba sebesar 20 miliiar USD, tiga kali lebih besar dari laba 158 BUMN Indonesia termasuk Pertamina yang hanya berkisar 7 miliar USD (vivanews.com, 25/3/2010). Padahal pasar domestik Indonesia 11 kali lebih besar dari Malaysia.
Apa pula yang menyebabkan satu negara kecil, Singapura, yang luas wilayah Kabupaten Bone tujuh kali lebih besar dari negara kecil ini, namun pada 2018, income per capita-nya diukur dengan purching power parity sudah mencapai USD104.000 atau setiap bulan warga Singapura sudah berpendapatan rata-rata Rp134 juta, dan negara kecil ini bahkan pada 2023 sudah berinvestasi sebesar Rp398,7 triliun (Tempo, 22/07/2023).
Satu lagi, apa yang menyebabkan satu institusi kecil, Columbia University (CU), New York, yang jumlah mahasiswanya hanya 33.032 (2018), jauh lebih kecil dibanding UI yang sudah berjumlah 46.771 ribu (2018), namun CU sudah mencetak 101 pemenang Hadiah Nobel (2021) dari berbagai bidang keilmuan. Bandingkan Indonesia dengan sekitar 4700 perguruan tingginya dengan total anggaran tahunannya Rp80,22 triliun (2023), namun belum mampu menghasilkan seorang pun pemenang nobel. CU memiliki anggaran tahunan (annual budget) sebesar USD5,8 miliar dan dana abadinya (endowment fund) sebesar USD19,1 miliar (2022) atau mengelola dana sebesar Rp386 triliun setahun (Rp15.500 per USD) atau 4,8 kali lebih dari besar dari seluruh anggaran pendidikan tinggi di Indonesia.
Terakhir, menarik ditelaah pandangan Peter Drucker (1999) dalam penunaian mandat KESS bahwa sesunggunya tidak ada negara miskin atau kaya, tidak ada negara besar atau kecil, yang ada adalah ada yang dikelola dengan baik dan ada yang tidak (undermanaged).
Semoga seluruh BUMD di Sulsel sesuai harapan Abeng dapat dikelola dengan baik melalui pembenahan strateginya, strukturnya, sistemnya, skill SDM-nya dan skalanya (5S), sehingga kelak secara signifikan dapat berkontribusi pada terwujudnya kehidupan masyarakat yang lebih adil dan makmur yang semakin merata.