IKN,KCIC DAN IPP

Opini682 Views

Oleh : Ahmad Daryoko
Koordinator INVEST.

Rezim ini sepertinya membangun Infrastruktur tanpa melihat skala prioritas, apalagi melakukan Feasibilty Study (FS) sebelumnya. Memang ada FS, tetapi paralel dengan pelaksanaan Proyek. Artinya besar kemungkinan proyek dilaksanakan dng EPC (Engineering, Procurement , Construction), yang rentan dengan kegagalan proyek (live time tdk spt yang diharapkan, rawan bencana dll) dan pembengkakan anggaran.

Ditengarai ada unsur kepentingan bisnis Oligarkhi “Peng Peng” dibelakangnya. Mari kita lihat satu satu :

1. IKN

IKN singkatan dari Ibu Kota Negara. Proyek ini berawal dari pernyataan Presiden Jokowi saat dilantik menjadi Presiden pada periode kedua. Artinya belum ada UU yg mendasari proyek ini. Dan memang sebenarnya tidak mendesak.

Setelah pelantikan Presiden, proyek pun langsung dilaksanakan. Justifikasi lokasi/tempat hanya Presiden yang tahu. Sehingga dipastikan pelaksanaan proyek dng EPC System. Dimana biaya proyek System ini akan membengkak antara 20-25 % (contoh proyek KCIC dan pembangkit PLN). Anggaran proyek adalah Rp 465 triliun.

2). KCIC

KCIC adalah singkatan dari Kereta Cepat Indonesia China (Jakarta -Bandung) . Proyek ini muncul dengan gagasan mendadak bersamaan dengan Proyek Pembangkit PLN 35.000 MW. Yaitu tiba2 muncul setelah pelantikan Presiden Jokowi tahap satu awal tahun 2015. Dengan demikian dipastikan memakai EPC System. Dan ternyata biaya membengkak USD 1,6 miliar dari biaya awal sebesar USD 8,6 miliar. Artinya biaya total kelak USD 10,2 miliar.

3). IPP

IPP adalah singkatan dari Independent Power Producer (pembangkit swasta yg di order PLN). Memang IPP mulai muncul sekitar 1986 setelah terbit UU No 15/tahun 1985 ttg Ketenagalistrikan.
Namun muncul secara gila gilaan lewat proyek 35.000 MW era Jokowi. Sehingga saat ini kelistrikan mengalami “over supply” 68,1%. Di Jawa-Bali sendiri pembangkit PLN mengalami “Reserve Shutdown” (RSH) alias “mangkrak” 38.596 MW.

Artinya pembangkit milik anak bangsa sendiri saja masih ribuan megawatt. Tetapi Pemerintah tetap mengundang IPP. Ini semua tidak terlepas dari kepentingan bisnis “Oligarkhi Peng Peng” seperti JK, Luhut BP, Dahlan Iskan, Erick Tohir. Apalagi Dahlan Iskan telah menjual ritail PLN ke Taipan 9 Naga mulai 2010. Akibatnya mulai 2020 sebenarnya sdh terjadi MBMS di Jawa-Bali tetapi tarip listrik masih relatif stabil karena Subholding Transmisi belum terbentuk !

KESIMPULAN :

Rezim ini rupanya tdk bisa bikin skala prioritas. Akhirnya uang dihambur hamburkan untuk hal hal yang tidak “Urgent” ! Bayangkan ribuan MW pembangkit PLN Jawa-Bali pada “nganggur”, malah membeli listrik dari pembangkit IPP. Dan kalau tidak dibeli , PLN (sebagai EO) harus membayar TOP (Take Or Pay) 70% stroom pembangkit IPP swasta itu perhari nya !

Dan akhirnya malah dibentuk Subholding PLN. Yang selanjutnya setelah pencabutan subsidi maka Jawa-Bali akan terjadi MBMS (Multy Buyer and Multy Seller) yang semuanya akan di tangani oleh Aseng/Asing dan Taipan 9 Naga. Dan PLN Holding bubar !

Sementara luar Jawa-Bali (sesuai PSRP) akan dibentuk PLW (Perusahaan Listrik Wilayah) dan selanjutnya di limpahkan ke PEMDA sebagai BUMD seperti PDAM !

INILAH AKIBAT PEMBANGUNAN ASAL MBANGUN !!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *