EKONOMI INDUSTRI SAWIT MAKIN RUMIT

Opini1228 Views

Oleh : Bustanul Arifin
Guru Besar Universitas Lampung

Pada masa Indonesia Emas tahun 2045, produksi sawit ditargetkan mencapai 100 juta ton dan telah menjadi andalan penyedia pangan dan transisi energi.

Menetapkan target-target yang ambisius seperti itu memang tidak salah. Namun, jika target besar tersebut tidak diikuti dengan kebijakan strategis dan langkah taktis untuk mencapainya, hal itu hanya akan menjadi angan-angan yang tidak pernah tercapai.

Artikel ini menganalisis tantangan ekonomi sawit, yang tampak makin rumit, setelah tidak ada suatu kelembagaan kredibel yang mampu mengurai dan memecahkan tantangan yang sangat multidimensi tersebut. Penutup artikel ini adalah strategi atau langkah-langkah taktis untuk meyelematkan industri sawit Indonesia.

Total luas areal kelapa sawit pada 2023 tercatat 16,83 juta hektare (ha), terdiri dari perkebunan rakyat 6,30 juta ha, perkebunan swasta 8,43 juta ha dan perkebunan negara 0,57 juta ha, serta luas lahan akan dikonfimasi (LAD) 1,53 juta ha. Produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) pada 2023 mencapai 48,34 juta ton, terdiri dari kebun rakyat 16,27 juta ton, kebun swasta 29,51 juta ton, dan kebun negara 2,45 juta ton. Semua data di atas bersumber dari Statistik Perkebunan publikasi Kementerian Pertanian.

Data produksi minyak sawit Indonesia dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) cenderung lebih tinggi, yang melaporkan bahwa total produksi minyak sawit pada 2023 telah mencapai 54,85 juta ton, terdiri dari CPO 50,07 juta ton dan minyak inti sawit (palm kernel oil/PKO) 4,78 juta ton.
Gapki juga melaporkan bahwa total ekspor minyak sawit Indonesia pada 2023 mencapai 32,21 juta ton, sedangkan sisanya 22,23 juta ton untuk konsumsi domestik. Konsumsi minyak sawit di pasar domestik di antaranya digunakan untuk kebutuhan pangan 10,30 juta ton, oleokimia 2,27 juta ton dan biodiesel 10,65 juta ton. Meningkatnya kebutuhan sawit untuk produksi biodiesel sebagai konsekuensi dari pelaksanaan kebijakan transisi energi dalam skema B-35 di Indonesia, untuk menggunakan energi baru dan terbarukan.

Pergeseran kebijakan untuk memenuhi target-target transisi energi, misalnya melalui skema B-40 tentu memiliki konsekuensi perubahan komposisi konsumsi minyak sawit di dalam negeri. Harga CPO dan Harga PKO serta harga minyak goreng di pasar dalam negeri hampir dipastikan akan meningkat secara perlahan tapi pasti. Berikut ini adalah tiga tantangan besar industri sawit yang memerlukan penjelasan dan pencarian jalan keluar yang memadai.

Pertama, produktivitas sawit sangat rendah, baik perkebunan rakyat maupun perkebunan skala besar swasta dan perkebunan negara. Produktivitas rata-rata tandan buah segar (TBS) masih sangat rendah, yaitu kebun rakyat 12,5 ton/ha dan kebun swata besar 17,5 ton/ha. Angka ini sangat rendah atau masih jauh dari pencapaian produktivitas potensial TBS 30 ton/ha.
Produktivitas CPO juga masih sangat rendah, yaitu kebun rakyat 3,43 ton/ha dan kebun besar swasta sekitar 4,45 ton/ha. Angka ini masih sangat rendah dari produktivitas potensial CPO 8 ton/ha. Sebagian besar dari kebun sawit rakyat dan bahkan kebun besar swasta masih belum mempraktikkan prinsip-prinsip budidaya kebun yang baik (good agricultural practices/GAP) karena kendali lapangan sangat beragam.

Kedua, peremajaam sawit utamanya peremajaan sawit rakyat (PSR) sangat lambat, dengan berbagai kendala di lapangan. Kinerja rendahnya PSR ikut berkontribusi pada rendahnya produktivitas sawit Indonesia, seperti disebutkan di atas. Dari sekitar 6,94 juta ha kebun sawit rakyat, tanaman berumur tua (>25 tahun) mencapai 1,36 juta ha (20%) yang secara teknis agronomis memerlukan peremajaan. Luas kebun sawit rakyat dengan tanaman berumur dewasa (4—25 tahun) mencapai 3,94 juta ha, dan luas kebun sawit rakyat dengan tanaman muda (
Pemerintah menargetkan PSR seluas 500 ribu ha (37%) hingga akhir 2024 dari luas kebun yang mememerlukan peremajaan. Akan tetapi, hingga akhir 2023 realisasi dana penyaluran dana PSR hanya mencakup luas 53.012 ha atau jauh dari target. Tata kelola sawit yang telah terlanjur berada dalam kawasan hutan masih belum terlalu jelas, baik bagi petani sawit rakyat, maupun bagi pelaku sawit skala besar.
Program percepatan PSR dengan pola kemitraan dengan pelaku usaha swasta besar hanya mencapai 3.600 ha, karena tafsir yang amat beragama terhadap beberapa ketentuan dalam Perpres No. 9/2023 tentang Satuan Tugas Peningkatan Tatakelola Industri Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara.

Ketiga, implementasi enforcement Pasal 110A dan 110B dalam UU No. 6/2023 tentang Cipta Kerja menimbulkan ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum, khususnya tentang sanksi “denda administratif” dan “pencabutan izin berusaha”.

Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), terdapat 2,45 juta ha perkebunan sawit teridentifikasi masuk dalam Kawasan Hutan. Sekitar 2,13 juta ha terdaftar sebagai lahan dalam pengusahaan oleh 2.128 perusahaan kelapa sawit.

Berdasarkan data Gapki, terdapat 569 perusahaan dengan luas lahan 810.435 ha terkena sanksi Pasal 110A dan 110B di atas. Beberapa perusahaan atau 365 subjek hukum dengan total luasan sekitar 600 ha telah mendapatkan tagihan menggunakan Pasal 110A dengan kewajiban denda administratif pembayaran provisi sumberdaya hutan dana reboisasi (PSDH-DR) berkisar Rp1—6,5 juta per hektare. Beberapa perusahaan mendapatkan tagihan menmggunakan Pasal 110B dengan nilai denda lebih > Rp 120 juta per hektare. Perusahaan sawit ini berpotensi tidak mampu lagi melanjutkan usahanya dan mengancam keberlanjutan sistem produksi sawit.
Upaya penyelesaian “keterlanjuran” lahan sawit dalam kawasan hutan atau dikenal dengan “strategi jangka benah” sesuai Peraturan Pemerintah PP No. 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan masih belum banyak dipahami oleh pelaku usaha swasta dan oleh masyarakat.
Penyelamatan industri sawit bisa dilakukan dengan berbagai langkah.

Pertama, peningkatan produktivitas kelapa sawit, utamanya oleh kebun sawit rakyat melalui pendampingan yang memadai kepada petani sawit, serta pemberian insentif dalam mengakses pembiayaan dan teknologi produksi yang lebih baik.
Langkah paling dasar ini berpotensi mampu berkontribusi pada penyelematan industri kelapa sawit yang lebih luas, dari hulu ke hilir. Target-target strategik untuk mencapai produksi CPO hingga 100 juta ton pada 2045 perlu dipetakan lebih baik dan mengatasi persoalannya sejak di hulu.

Kedua, percepatan program PSR melalui kemitraan dengan memberikan insentif dan kejelasan kepastian hukum, khususnya bagi pelaku usaha swasta yang bermitra dengan petani dalam implementasi PSR.
Penyederhanaan prosesur untuk memperoleh Rekomendasi Teknis dari Dinas Perkebunan, bagi petani sawit dan Perusahaan swasta tentang status lahan sawit yang tidak berada dalam Kawasan Hutan atau dengan Sertifikat Hak Guna Usaha (HGU).

Ketiga, peningkatan kepastian hukum bagi dunia usaha atau perusahaan swata yang telah memiliki sertifikat hak milik (SHM) dan HGU Perkebunan sawit. Ketentuan SHM dan HGU diatur dalam UUPA 5/1960 tentan Pokok-Pokok Agraria dan peraturan turunannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *