Oleh : Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP)
Dengan dalih menstabilkan harga beras dan mengendalikan inflasi, bantuan sosial (bansos) beras terus digenjot. Tidak tanggung-tanggung, setelah periode pertama pada Maret—Mei 2023, bansos yang kembali dikucurkan sejak September 2023 lalu bakal diperpanjang hingga Maret 2024. Artinya, tahun 2023 ini bansos dikucurkan selama 7 bulan. Sedangkan tahun depan, untuk sementara, 3 bulan. Pertanyaannya, efektifkah bansos beras dalam menstabilkan harga beras, termasuk mengendalikan laju inflasi?
Bansos menyasar 21,35 juta keluarga. Mereka menerima 10 kilogram beras per bulan. Saat dikucurkan pada Maret—Mei, penyalurannya molor sampai Juni 2023. Saat itu bansos beras cukup efektif menahan kenaikan harga beras. Hal itu tecermin dari rata-rata perubahan harga beras Maret—Juni 2023 yang rendah: 0,44%.
Bandingkan dengan rerata- perubahan harga beras 4 bulan sebelum bansos (November 2022—Februari 2023) yang sebesar 1,67%. Selama 4 bulan penyaluran harga beras tertahan Rp12.864—Rp12.942/kg. Bahkan, harga beras sempat turun: dari Rp12.915/kg di April ke Rp12.889/kg di Mei.
Efektivitas juga tampak pada pengendalian inflasi. Pada Maret—April beras masih menyumbang inflasi dengan andil masing-masing 0,02%. Akan tetapi pada Mei—Juni beras tidak jadi penyumbang inflasi. Bagaimana ini bisa dijelaskan? Dengan bansos beras 10 kg per bulan, keluarga penerima bantuan terlindungi dari gejolak harga beras di pasar. Cakupan sasaran yang relatif besar, 21,35 juta keluarga, bansos beras memengaruhi keseimbangan harga beras di pasar dari sisi permintaan (demand side) dan sisi penawaran (supply side).
Dari sisi penawaran ditandai dengan berkurangnya permintaan keluarga penerima bantuan terhadap beras yang dijual di pasar. Ini membuat tekanan permintaan beras di pasar berkurang, sehingga gejolak atau kenaikan harga beras lebih terkendali. Bahkan, harga beras di pasar bisa turun dan menjadi lebih murah. Dengan volume bansos beras yang besar, 213,5 ribu ton atau sekitar 8,5% dari konsumsi bulanan, menunjukkan kontribusi ketersediaan program ini relatif tinggi terhadap ketersediaan beras nasional.
Keberadaan bansos beras berperan pada sisi penawaran beras. Dengan volume yang besar, bansos beras memengaruhi keseimbangan harga beras di pasar dari sisi penawaran. Pendek kata, bansos beras memberikan efek positif terhadap stabilisasi harga beras di pasar dari dua sisi sekaligus: dari sisi permintaan dengan berkurangnya tekanan permintaan di pasar, dan dari sisi penawaran dengan tersedianya pasokan beras sesuai volume bansos beras. Jadi, pada periode penyaluran pertama bansos beras tampak efektif.
Efektivitas bansos dalam menstabilkan harga beras dan mengendalikan inflasi menurun pada penyaluran periode kedua. Karena tidak ada bansos beras, Juli—Agustus harga beras naik. Pada September 2023, kenaikan harga beras tetap tak tertahan meskipun pada bulan itu ada penyaluran bansos beras.
Demikian pula pada Oktober: harga beras kembali naik, bahkan menyentuh Rp14.244/kg atau lebih tinggi dari bulan sebelumnya (Rp13.882/kg). Dalam 2 bulan itu, rerata perubahan harga beras sebesar 4,16%. Warga miskin jadi kian miskin. Mereka yang hanya beberapa jengkal di atas garis kemiskinan terancam jadi orang miskin baru. Ini karena porsi belanja beras warga miskin amat besar.
Pada September—Oktober 2023, beras menjadi penyumbang inflasi terbesar untuk kategori harga pangan (volatile foods). Pada September, inflasi beras mencapai 0,19% secara bulanan dan 2,28% secara tahunan. Andil beras terhadap inflasi bulanan dan tahunan masing-masing 0,18% dan 0,55%.
Hal ini mengerek andil beras pada inflasi: 5,61% secara bulanan dan 18,44% secara tahunan. Ini andil inflasi beras tertinggi sejak 2014. Di Oktober 2023, inflasi beras mencapai 1,72% dengan andil sebesar 0,06%. Secara kumulatif, selama 2023 beras menyumbang andil inflasi terbesar: 0,49%.
Mengapa efektivitas bansos beras menurun di penyaluran periode kedua? Hampir bisa dipastikan ini terkait dengan pasokan beras yang mulai menurun. Terutama di sentra-sentra produksi padi nasional.
Merujuk data BPS, kenaikan tajam harga beras terjadi di Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Ini indikasi kuat terjadi penurunan pasokan beras akibat penurunan produksi padi di sentra produsen beras.
Sebaliknya, pada periode pertama penyaluran, daerah sentra produksi padi tengah panen, bahkan panen raya. Suntikan bansos menambah pasokan beras dan membuat harga jinak.
Secara teoritis, efektivitas bansos beras akan tetap terjaga apabila volume beras dilipatgandakan. Misal, menjadi dua kali lipat atau 20 kg/bulan/keluarga. Dengan cara itu akan ada suntikan beras 427.000 ton atau 17% dari konsumsi bulanan.
Masalahnya, kalau ini dilakukan, cadangan beras pemerintah (CBP) yang ada di Bulog bakal terkuras kian deras. Padahal, stok CBP terus menipis bukan hanya digunakan buat bansos beras, tetapi juga untuk operasi pasar bernama stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP).
Pemerintah telah menambah kuota impor beras 1,5 juta ton buat Bulog, di luar kuota impor 2 juta ton sebelumnya. Tetapi, seperti tahun lalu, tidak mudah mendapatkan beras impor di pasar dunia. Sejumlah negara, terutama eksportir beras terbesar di dunia, India, membatasi ekspor beras.
Akibatnya, harga beras di pasar dunia melonjak. Kita pun terkena imbasnya.
Situasi dilematis ini tak akan terjadi manakala produksi padi domestik baik dan Bulog bisa melakukan penyerapan beras dalam jumlah memadai. Sayangnya, produksi padi tahun ini diperkirakan menurun 650.000 ton dari tahun lalu. Menaikkan produksi padi jadi pekerjaan rumah yang mendesak, termasuk bagi presiden baru nanti.