Oleh : Anthony Budiawan
Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
Bagian satu tulisan ini menjelaskan dugaan pelanggaran Terstruktur, Sistematis dan berdampak Masih (TSM) yang dilakukan oleh pemerintahan Joko Widodo, terkait pencalonan dan upaya pemenangan Gibran dalam pilpres 2024.
Pertama, konspirasi di Mahkamah Konstitusi. Anwar Usman, sebagai paman Gibran dan adik ipar Joko Widodo, meloloskan Gibran menjadi cawapres, dengan mengabulkan uji materi batas usia minimum capres-cawapres, dengan melanggar etika berat, undang-undang Kekuasaan Kehakiman dan Konstitusi Pasal 24C ayat (5). Putusan Mahkamah Konstitusi ini mengandung unsur nepotisme.
Kedua, konspirasi di KPU, menerima pencalonan Gibran sebagai cawapres Prabowo, dengan melanggar Peraturan KPU No 19/2023 dan UU Pemilu No 7/2017.
Ketiga, konspirasi dengan lembaga survei, untuk mendongkrak elektabilitas Prabowo hingga di atas 50 persen pada dua atau tiga minggu menjelang hari pencoblosan, untuk mengkondisikan Pilpres berlangsung satu putaran.
Semua itu bisa terjadi karena cawe-cawe presiden Joko Widodo, yang terang-terangan berpihak kepada pasangan calon Prabowo-Gibran. Menyalahgunakan Kekuasaan Presiden. Berpihak artinya memastikan Prabowo-Gibran memenangi Pilpres, bahkan dalam satu putaran.
Untuk mewujudkan pengkondisian Pilpres berlangsung satu putaran, diperlukan alat atau media kecurangan, yang dalam UU Pemilu dinamakan pelanggaran.
Setidaknya ada dua alat kecurangan yang harus dijalankan oleh penyelenggara pemilu, khususnya Joko Widodo, dibantu aparat penguasa.
Dua alat kecurangan yang bersifat TSM tersebut adalah Pertama, Sistem IT KPU atau Sirekap (Sistem Informasi Rekapitulasi) yang diduga kuat dirancang untuk memanipulasi algoritme perhitungan perolehan suara, dan Kedua Politik Uang secara terang-terangan dan besar-besaran, dalam bentuk Bantuan Sosial dadakan.
Hasil survei manipulatif Pilpres satu putaran harus didukung dengan perhitungan suara di hari pencoblosan, agar survei nampak seperti riil. Untuk itu, quick count atau hitung cepat juga harus manipulatif, menyesuaikan hasil survei. Tidak heran, semua lembaga survei sepakat menempatkan quick count perolehan suara Prabowo-Gibran lebih dari 50 persen, bahkan mencapai 56-58 persen.
Hasil quick count kemudian dianggap seolah-olah hasil resmi KPU, dengan membentuk opini Pilpres 2024 sudah selesai dengan satu putaran, dimenangi Prabowo-Gibran. Mereka keesokan harinya langsung mengadakan pesta di GBK. Seolah-olah sudah menang dan Pilpres sudah berakhir.
Tetapi, fakta di lapangan ternyata tidak mudah menunjang opini Pilpres satu putaran. KPU keteteran. Karena untuk itu diperlukan penggelembungan suara di banyak TPS agar perolehan suara Prabowo-Gibran bisa mencapai 58 persen. Penggelembungan suara tersebut dilakukan secara otomatis melalui manipulasi algoritme atau pogram Sirekap.
Artinya, Sistem IT KPU Sirekap sengaja dirancang untuk manipulasi perolehan suara. Ini adalah pelanggaran terstruktur dan sistematis, berdampak sangat masih, melalui kacurangan algoritme Sistem IT KPU Sirekap.
Tidak heran, petugas KPPS tidak bisa koreksi (edit) data yang sangat aneh. Total suara di TPS bisa jauh lebih besar dari jumlah maksimal 300 per TPS, ada yang mencapai ribuan bahkan puluhan ribu.
Tapi KPU bertingkah, seolah-olah tidak bersalah. KPU bilang, kesalahan data input harus dimaklumi karena kesalahan manusiawi. Tentu saja tidak bisa diterima. KPPS juga tidak mengakui itu. Manusia tidak bisa melakukan kesalahan terstruktur dan sistematis berskala nasional seperti itu. Kemudian KPU berkilah lagi, kesalahan itu merupakan kesalahan sistem membaca form C1.
Semua pernyataan KPU secara nyata merupakan pembohongan publik. Tidak tanggung-tanggung, total kesalahan Sirekap mencapai 154.541 TPS, dari 638.497 TPS yang sudah diinput. Sangat masif. Itu yang ketahuan. Mungkin faktanya jauh lebih besar dari itu. Siapa yang tahu?
Pembohongan publik KPU terus terbongkar. Sebelumnya KPU mengatakan, semua data Pemilu (server) ada di Indonesia.
Tetapi, dalam persidangan di Komisi Informasi Pusat (KIP), KPU mengaku menempatkan data Pemiliu di Singapore, bekerja sama dengan perusahaan IT raksasa asal China, Alibaba.
Fakta ini mempunyai implikasi sangat serius. Semua komisioner KPU dapat dianggap pengkhianat. Karena membahayakan keamanan negara, dengan membuka data 220 juta pemilih ke pihak asing. Apakah Joko Widodo juga bertanggung jawab, sebagai pengkhianat, dengan menyetujui kerjasama KPU dengan Alibaba yang menempatkan data Pemilu di Singapore, dengan data backup mungkin di Perancis dan China?
Terakhir, siapa yang membuat Sirekap? Menurut info publik, oknum dosen ITB, termasuk wakil rektor ITB Gusti Ayu Putri Saptawati terlibat dalam pembuatan atau pengembangan Sirekap yang curang tersebut, dengan nilai proyek Rp 3,5 miliar.
Nampaknya, informasi ini juga bohong. Karena hampir mustahil mengembangkan Sistem Sirekap hanya Rp 3,5 miliar. Kemungkinan besar, oknum dosen ITB hanya dipakai saja untuk pengalihan, seolah-olah Sirekap dibuat pihak Indonesia. Artinya, proyek Sirekap dengan ITB diduga kuat hanya proyek fiktif.
Pengembang Sirekap sebenarnya kemungkinan besar pihak lain, pihak asing. Untuk menutupi jejak kecurangan di dalam negeri.
Oleh karena itu, DPR wajib menyelidiki semua dugaan pelanggaran dan pengkhianatan ini, dengan melaksanakan hak angket.
Mengenai pelanggaran TSM Pemilu 2024 terkait alat curang Bantuan Sosial akan dibahas di tulisan selanjutnya, bagian 3, bagian terakhir dari seri tulisan ini.