Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) akhirnya resmi mengumumkan dukungannya pada Bobby Nasution (mantu Jokowi) di Pilgub Sumatera Utara (Sumut). Padahal, PKS selama ini termasuk yang keras mengkritik politik dinasti rezim Jokowi.
Sebelumnya, Sekjen PKS Aboe Bakar Al Habsy pernah mengkritik Jokowi yang cawe-cawe untuk Kaesang. Tetapi begitu mendapat perlawanan dari PSI, buru-buru pernyataan itu diklarifikasi dan akhirnya PKS malah mengundang Kaesang putra Jokowi bertandang ke kantor PKS.
Saat ini, umat nyaris kehilangan arah dan rujukan. Parpol dan ormas yang mengatasnamakan Islam, justru berpaling dari Islam. Syariat sebagai rujukan utama dalam bertindak, dibuang jauh dan diganti dengan dalih maslahat.
Atas dalih maslahat, Parpol Islam berkoalisi dengan parpol sekuler yang menentang penerapan syariat Islam. Atas dalih maslahat, Parpol Islam memberi dukungan pada calon dalam kontestasi, meskipun calon tersebut sudah terbukti representasi rezim zalim.
Atas dalih maslahat, Ormas Islam ikut ngalap berkah mengelola tambang. Padahal, syariat telah menetapkan tambang dengan deposit melimpah adalah milik umum (Al Milkiyatul Ammah), haram dikelola individu, swasta, korporasi, asing, aseng, termasuk haram dikelola ormas.
Syariat telah menetapkan tambang dengan deposit melimpah harus dikelola oleh negara, dan dikembalikan manfaatnya kepada rakyat. Hanya negara, yang memiliki hak syar’i mewakili umat, untuk mengelola dan mendistribusikan hasil/manfaat tambang kepada seluruh rakyat.
Apa yang dilakukan PKS, yakni mendukung Bobby Nasution, tidak ada dalil syariatnya. Dalihnya, hanya masalah kekuasan, hanya karena PKS menilai Bobby Nasution potensial menang karena didukung penuh oleh otoritas (kekuasaan) dan punya modal isitas yang tak terbatas.
Soal Bobby terciduk punya tambang ‘Blok Medan’ bersama istrinya Kaheyang Ayu di kasus korupsi Gubernur Maluku Utara, dikesampingkan. Soal Bobby Nasution bersama Airlangga Hartarto oleh Faisal Basri disebut terlibat penyelundupan nikel 5,3 juta ton, dikesampingkan.
Tak ada lagi pertimbangan syariat dalam menetapkan kebijakan atau keputusan politik. Semua an sich karena faktor maslahat (pragmatisme). Maslahat yang mengalahkan ketentuan syariat.
Karena itu, saat ini kaum muslimin butuh pemimpin, butuh partai politik, butuh gerakan dakwah yang benar-benar menjadikan syariat sebagai rujukan, menjadikan Rasulullah Saw sebagai teladan. Gerakan dakwah, yang mengupayakan penerapan Islam secara kaffah, melalui dakwah yang mencontoh metode perjuangan Rasulullah SAW mendirikan institusi politik negara Islam di Madinah.
Gerakan dakwah, yang serius dan sungguh-sungguh memperjuangkan Khilafah. Mengupayakan mengembalikan kehidupan Islam dengan menerapkan Islam secara kaffah, serta mengemban risalah dakwah Islam ke seluruh penjuru alam. Allahu Akbar !