BERHARAP “THE END OF INJUSTICE”: LAYAKKAH MENUNTUT MAHASISWA YANG “SOWAN ISTANA” MENJADI THE LEADER OF CHANGE?

Opini2162 Views

Oleh : Prof Dr Suteki SH MHum,
Guru Besar Universitas Diponegoro

Semarang – Sebagaimana diketahui, ada sejumlah mahasiswa yang menamakan dirinya Kelompok Cipayung Plus, yang berisi 12 organisasi mahasiswa, bertemu dengan Presiden Joko Widodo atau Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu, 23 Maret 2022. Kelompok ini merasa sangat bangga dan terhormat bisa bertemu langsung dengan Jokowi.

Dalam pertemuan tersebut, hadir Raihan Ariatama (PB HMI), Jefri Gultom (PP GMKI), Muhammad Abdullah Syukri (PB PMII), Benidiktus Papa (PP PMKRI), I Putu Yoga Saputra (PP KMHD), Abdul Musawir Yahya (DPP IMM), Wiryawan (PP HIKMAHBUDHI), Muhammad Asrul (LMND), Rafani Tuahuns (PB PII), Iqbal Muhammad Dzilal (HIMA PERSIS), Zaki Ahmad Rivai (PP KAMMI) dan Arjuna Putra Aldino (DPP GMNI). Apa sebenarnya motif para mahasiswa tersebut mau “sowan” ke Istana di tengah banyaknya kebijakan Pemerintah yang tidak populis dan bahkan terkesan kontraproduktif dengan upaya menyejahterakan rakyat dan penegakan hukum yang berkeadilan bahkan sebaliknya yang terjadi adalah ketidakadilan (injustice).

Diakui atau tidak, dampak dari beberapa kebijakan tidak populis yang diproduksi penguasa telah memicu penentangan sebagian masyarakat. Wajar jika kalangan mahasiswa sebagai agen –yang diharap sebagai leader– perubahan (from the agent to the leader of change) pun merasa resah dan menyuarakan curhat kritisnya. Tentu ini mahasiswa termasuk mahasiswa yang tidak “suka sowan” ke istana untuk makan bersama Presiden.

Pada tahun 2021 lalu, adalah BEM UI yang mencuatkan diksi “The King of Lip Service” ke ruang publik melalui unggahan posternya di akun Instagram mereka, Sabtu (26/6/2021). Mereka menyoroti sikap Presiden Jokowi yang kerap kali mengobral janji manis, namun realitanya sering tak selaras. Caption satire ini tak ayal mendapatkan dukungan dari aliansi mahasiswa dan BEM lainnya. Hingga muncul julukan baru The Guardian of Oligarch dari BEM Udayana.

Tak hanya dalam masalah politik dan pemerintahan, aroma injustice (ketidakadilan) juga terasa menyengat dalam persoalan penegakan hukum. Dugaan terjadinya ketidakadilan (injustice) yang terkesan mengutamakan tindakan memukul daripada merangkul terhadap kelompok dan atau orang yang dinilai berseberangan dan mengkritisi pemerintah, menjadi ironi tersendiri. Sebuah elegi hukum tengah dipertontonkan oleh para penegak hukum di negara yang mengaku sebagai negara hukum, bukan negara kekuasaan ini.

Relasi antara Hukum dan Keadilan

Secara konseptual, hukum (dalam arti peraturan hukum) dan keadilan bukan dua perkara yang berada dalam satu laci. Hukum berada di norma sedangkan keadilan di wilayah nilai. Artinya, menegakkan hukum (peraturan hukum) tidak identik dengan menciptakan keadilan. Bahkan menurut Gustav Radbruch dengan Triadisme-nya, keduanya punya potensi saling tarik-menarik sehingga timbul hubungan ketegangan (spanungsverhealtnis). Radbruch menegaskan bahwa “where statutory law is incompatible with justice requirement, statutaory law must be disregarded by a judge”.

Dalam pemerintahan otoriter, hukum negara (kepastian hukum) justru diutamakan dengan mengabaikan keadilan. Hukum dipakai sebagai sarana untuk melegitimasi segala tindakan pemerintah meski keliru sekalipun. Padahal idealnya hukum harus menciptakan keadilan. Dengan perkataan lain, hukum itu berkeadilan atau hukum yang adil. Sebagaimana dikatakan oleh Thomas Aquinas bahwa “lex injusta non est lex,”artinya hukum yang tidak adil bukanlah hukum.

Hukum yang adil bisa dikatakan sebagai hukum yang baik atau good law yang ditopang oleh dua hal, yaitu:

Pertama, GOOD NORM. Kalau kita belajar teori hukumnya Lawrence M. Friedman, good norm terkait dengan legal substance (substansi hukum). Dari sisi substansi, hukum itu mesti baik. Jika kita konsekuen sebagai religious nation state berdasarkan Pasal 29 ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa,” mestinya kita mengikuti pola pembuatan hukum sebagaimana Thomas Aquinas menyebut bahwa kitab suci (lex devina) berada di atas konstitusi (human law). Hukum manusia itu berada di bawah kitab suci. Maka, hukum yang baik mestinya menginduk pada hukum Tuhan yang terdapat dalam kitab suci yang diturunkan melalui Rasulullah.

Kedua, GOOD PROCESS. Masih menyitir pendapat Lawrence M. Friedman, ada dua hal yang menopang good process: (1) legal structure, menyangkut aparat penegak hukum (APH) dan kelembagaanya. Ada polisi, hakim, jaksa, advokat hingga Lembaga Pemasyarakatan. Mereka mesti berperilaku baik. Jika negara hukum, harusnya patuhi hukum yang ada. Bukan hukum yang tidak sesuai (dengan maunya penguasa), lantas diubah mengikuti penguasa. (2) legal culture, terkait persoalan budaya yang menyangkut pemahaman hukum dan kesadaran hukum masyarakat.

Inilah dua penopang apakah proses hukum menjadi baik atau tidak, terutama persoalan kesadaran hukum. Ini hal yang harus dikuatkan, termasuk kalangan mahasiswa juga harus melek/mengerti hukum. Jika tidak melek, maka akan mudah ditindas.

Ada sinyalemen dari Brian Z. Tamanaha bahwa Pendidikan Tinggi Hukum sebagai kawah candradimuka (sumber lahirnya penegak hukum) telah menjadi failing law school (sekolah hukum yang gagal). Mengapa? Karena banyak ahli hukum, penegak hukum, lulusan hukum pun makin banyak, tapi tidak identik/linier dengan perbaikan kualitas penegakan hukum. Indonesia bahkan dikenal sebagai negara yang over regulation namun nul dalam law enforcement. Siapa yang harus bertanggung jawab?

Menkopolhukam Mahfud MD pernah menyatakan agar perguruan tinggi bertanggung jawab terhadap buruknya penegakan hukum, juga korupsi tinggi. Bahkan dikatakan bila perlu PT menjadi “tersangkanya”. Padahal di perguruan tinggi, para mahasiswa hukum diajari yang baik-baik, dimotivasi menjadi penegak hukum yang baik. Namun, begitu berinteraksi dengan penguasa/rezim (otoriter), jadilah hukum dan penegak hukum yang nota bene berasal dari PT tersebut terkooptasi. Pada akhirnya jadilah hukum yang berwajah buruk dalam semua dimensinya.

Jika ditelisik, penyebab utamanya kebobrokan dalam law making dan law sanctioning adalah karena terjadi bifurkasi hukum. Sementara kita sudah bersepakat dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Tapi saat penguasa melakukan bifurkasi hukum, mereka mengubah/membelokkan secara paksa dari prinsip negara hukum (rechtstaat) menjadi negara kekuasaan (machtstaat). Di sinilah terjadi penegakan hukum hanya sebagai legitimasi kekuasaan, demi mempertahankan status quo. Ketika hukum telah dipakai sebagai sarana untuk legitimasi kekuasaan, maka ia akan menjadi sarana/tunggangan politik. Hukum diekploitasi untuk kepentingan politik atau kekuasaan.

Yang lebih parah lagi, akibat bifurkasi hukum, kita mengalami masa yang disebut industri hukum. Yaitu saat hukum dimanfaatkan oleh siapa saja, baik oleh rezim untuk mengokohkan kekuasaannya atau digunakan orang lain untuk membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Hukum tidak lagi berorientasi pada kebenaran dan keadilan (the truth and justice), tapi sudah berupa: keuntungan dan kepentingan (vested interest). Maka jangan heran, demi kekuasaan/status quo, seseorang bisa dijerat dengan sepuluh lapisan pasal seperti yang dialami HRS hingga ia tak bisa lepas dari hukuman pidana.

Terlebih ketika pemerintah menggunakan “core” radikalisme sebagai program kerja –padahal nomenklatur radikalisme lentur dan kabur- ini sangat berbahaya. Akibat seseorang distempeli radikal, seolah hidup (karier)nya finish. Stempel yang sama juga ditujukan kepada penulis saat menjadi ahli dalam sidang gugatan Perppu Ormas, yang berupaya mendudukkan posisi Ormas dan Perppu Ormas pada waktu itu. Inilah risiko mengatakan kebenaran di hadapan rezim yang melakukan bifurkasi hukum. Kita ini berhukum, mestinya jangan melakukan vandalisme, hantam dulu urusan belakang melainkan harus taat pada hukum yang benar (due process of law) yang konon dirumuskan secara demokratis.

Fenomena Injustice: Apa sajakah?

Saat penegakan hukum tak lagi berorientasi pada pencarian keadilan dan kebenaran (searching the truth and justice), akan muncul praktik buruk sekaligus pelanggaran dalam penegakan hukum, antara lain:

Pertama, prinsip Suka-Suka kami (SSK) dalam penegakan hukum. Menurut catatan saya, SSK ini muncul sejak tahun 2017 ketika ada Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah pada waktu itu yang disidik dan diselidik untuk menguak kasus Apel dan Kemah Pemuda Islam Indonesia. Saat protes oleh Ketua Pemuda Muhammadiyah Fanani dilayangkan mengapa proses penyidikan dilakukan secara maraton, penyidik mengatakan dari Ditreskrimsus Polda Metrojaya DKI mengatakan: “Suka-suka Kami!” 

Begitulah, hukum di masa kini terkesan tak memiliki standar jelas. Penegakan Hukum bisa dibilang suka-suka APH. Polisi menangkap jika mau, membiarkan laporan jika mereka suka. Polisi juga menangguhkan jika mereka berkehendak, mengabaikan permohonan penangguhan jika mereka tak berkehendak. Tak ada ukuran objektif, polisi terkesan suka-suka memperlakukan tersangka bahkan meskipun seseorang baru sekadar menjadi terduga.

Kedua, diskriminatif atau inequality before the law. APH mempunyai hak untuk to do or not to do, ada diskresi dalam kerangka menegakkan hukum ataukah ada policy of non enforcement of law. Hukum yang adil adalah hukum yang memperlakukan sama untuk kasus yang sama (sejenis). Memperlakukan berbeda untuk kasus yang beda. Jadi mesti ada equality before the law. Jika tidak, yang akan terjadi adalah penegakan hukum yang ambyar, misalnya dengan melakukan kriminalisasi ullama dan aktivis (Gus Nur, Munarman, HRS)  versus “pembiaran” para “buzzer” pendukung rezim (Abu Janda, Denny Siregar, Ade Armando dll).

Ketiga, ketidakpatuhan APH terhadap putusan MK. Dalam kasus penangkapan hingga penetapan tersangka tanpa pemeriksaan terhadap Gus Nur, Munarman, serta HRS, polisi tidak mematuhi Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014. Putusan MK itu menegaskan bahwa frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya

Keempat, terjadi “penyunatan hukuman”, khususnya yang terkait kasus korupsi/suap. Seperti yang terjadi pada Jaksa Pinangki yang semula dihukum 10 tahun, lantas dipangkas 6 tahun jadi 4 tahun penjara. Demikian pula dalam kasus Djoko Tjandra, Edy Prabowo dan kasus-kasus lainnya, padahal kita sudah mempunyai sense of crisis terhadap tindak pidana korupsi. Tentu hal ini menjadi ironi.

Kelima, adanya proses penegakan hukum yang kejam (brutal). Penanganan dugaan pelanggaran hukum yang melibatkan enam anggota laskar eF-Pe-I yang dibunuh di luar hukum (extrajudicial killing) oleh aparat. Menunjukkan betapa kejam telah menghabisi seseorang yang tidak berdaya dengan tembakan jarak dekat dan dalam pengusaan APH. Padahal membunuh satu nyawa manusia tanpa hak itu, seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya (QS. Al Maidah: 32).  Belum lagi yang peristiwa yang menimpa dr. Sunardi Sukoharjo yang harus meregang nyawa sebelum terbukti di depan pengadilan bahwa ia benar-benar seorang teroris. Dugaan kuat bahwa telah terjadi unlawfull killings atau extrajudicial killings atas dr. Sunardi.

Mahasiswa: From The Agent to The Leader of Change

Sebagai bagian dari civitas akademika kampus, mahasiswa juga mempunyai tugas sebagai the agent of change. Berapa banyak peristiwa hukum dan politik di negeri ini berubah karena kiprah para mahasiswa yang peduli dengan berbagai ketimpangan sosial di hadapannya. Maka, layakkah mereka berdiam diri menyaksikan ketidakadilan marak terjadi?

Berikut ini beberapa hal yang harus dilakukan mahasiswa demi menuju kondisi the end of injustice:

Pertama, mahasiwa harus turut mendorong negara menciptakan good law. Hukum yang terbaik tentu berasal dari yang Maha Terbaik dan Maha Sempurna. yaitu Allah SWT. Kita harus membuat hukum yang sumbernya lex devina. Bagi umat Islam, tentu Al-Qur’an, Al-Hadis, dan ditambah ijtihad para ulama. Kita harus mencari sumber hukum terbaik, bukan sumber abal-abal. Bukan pula buatan manusia yang kebenarannya tidak bisa kita pastikan. Terlebih saat ini hukum kita masih bersumber dari warisan para penjajah, maka karakter hukumnya menindas dan sangat represif. Hukum semacam ini harus kita ganti. Jika tidak, sistem hukum akan begini terus. Akan semakin membuat kita sengsara. Memperpanjang penderitaan, bukan memperpendek penderitaan rakyat. 

Kedua, mahasiswa berani andil untuk menghentikan industri hukum. APH dan aspek legal culture harus mengutamakan kebenaran dan keadilan. Pengadilan ibarat benteng terakhir mencari kebenaran dan keadilan. Maka pengadilan tidak boleh menjadi ajang gladiator yang hanya digunakan untuk searching the winner and the loser. Kita harus mengutamakan untuk menemukan kebenaran dan keadilan. Hakimnya harus beriman, berkarakter vigilante (berani) dan memiliki braveness (berjiwa pejuang, pembela kebenaran dan keadilan).

Ketiga, mahasiswa harus memiliki semboyan hidup: “Live oppressed or rise up against (hidup tertindas atau bangkit melawan).” Maju tak gentar membela yang benar. Bukan maju tak gentar membela yang bayar. Jadilah Anda kelompok yang ditakuti oleh presiden bukan penjilat presiden yang suka “sowan-sowan”. Sebagaimana kalimat populer beberapa waktu lalu, “Mahasiswa takut dosen. Dosen takut rektor. Rektor takut presiden. Presiden (waktu itu) takut mahasiswa. Saat ini, jangan sampai mahasiswa punya gerakan lalu berhenti di pintu istana, diajak makan terus bubar jalan.

Ingatlah, bahwa tak hanya menjadi the agent of change, mahasiswa adalah the leader of change. Selain itu, sebagai insan kampus, tugas mereka adalah merohanikan ilmu, yakni  pencarian terhadap kebenaran. Searching the truth, nothing but truth. Rohani di sini berarti bicara tentang cipta, rasa dan karsa. Ini yang kita sebut dengan akal. Sebagai ilmuwan, mahasiswa juga mesti memiliki “critical thinking,” yaitu cara insan kampus berpikir terlepas dari kepentingan hegemoni kekuasaan rezim, bahkan berani memberikan kritik atas kekeliruan kebijakan rezim penguasa, bukan membebek dan mengamini kekeliruan tersebut.

Keempat, pemuda mahasiswa memiliki peran penting pada setiap bagian dari perubahan itu sendiri bahkan kita membutuhkan kehadiran kepemimpinan pemuda  mahasiswa di tengah kehidupan masyarakat dalam porsi yang lebih besar. Selama ini yang kita kenal memang slogan bahwa pemuda mahasiswa diharapkan bisa menjadi agent of change (agen perubahan). Namun, oleh karena tuntutan zaman yang semakin kompleks dan serba cepat perkembangannya, maka dalam menghadapi berbagai permasalahan bangsa saat ini, pemuda mahasiswa diharapkan bisa memainkan peran yang lebih strategis dengan menjadi leader of change (pemimpin perubahan). Dalam hal ini pemuda mahasuwa harus dipersiapkan menjadi pemimpin pada setiap lembaga-lembaga strategis seperti Pemerintahan Nasional, Pemerintahan Daerah, dan Pemerintahan Desa, sehingga pemuda tidak hanya mendorong terjadinya sebuah perubahan, tapi juga ikut menentukan arah dari perubahan itu sendiri.

Peran yang seharusnya dijalani oleh Pemuda  Mahasiswa sebagai Leader of Change, yaitu:

1. Pemuda harus memiliki akidah keagamaan yang kokoh.
2. Pemuda mahasiswa harus Kuat Ibadahnya
3. Pemuda mahasiswa harus menjadi Pecinta Ilmu Pengetahuan
4. Pemuda mahasiswa tidak boleh hedonis (zuhud)
5. Pemuda mahasiswa harus berjuang demi kemajuan bangsa,
6. Pemuda mahasiswa harus merawat kemajemukan adat dan budaya yang sesuai dengan religiusitas bangsa
7. Pemuda mahasiswa harus menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa,
8. Pemuda mahasiswa harus berani membela keadilan dan kebenaran.

Karakter inilah yang diyakini akan bisa mengubah peran pemuda mahasiswa dari sekedar the agent of change menjadi the leader of change. Namun, dengan kejadian sowannya mahasiwa ke istana di tengah banyaknya kebijakan pemerintah yang tidak populis dan penegakan hukum secara injustice, tampaknya sulit berharap mahasiswa menjadi the agent of change sekalipun. Ambyar jadinya!

Tabik…!
*Prof Dr Suteki SH MHum, UNDIP*

Berharap “The End of Injustice”: Layakkah Menuntut Mahasiswa yang “Sowan Istana” Menjadi The Leader of Change?

Pierre Suteki

Sebagaimana diketahui, ada sejumlah mahasiswa yang menamakan dirinya Kelompok Cipayung Plus, yang berisi 12 organisasi mahasiswa, bertemu dengan Presiden Joko Widodo atau Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu, 23 Maret 2022. Kelompok ini merasa sangat bangga dan terhormat bisa bertemu langsung dengan Jokowi.

Dalam pertemuan tersebut, hadir Raihan Ariatama (PB HMI), Jefri Gultom (PP GMKI), Muhammad Abdullah Syukri (PB PMII), Benidiktus Papa (PP PMKRI), I Putu Yoga Saputra (PP KMHD), Abdul Musawir Yahya (DPP IMM), Wiryawan (PP HIKMAHBUDHI), Muhammad Asrul (LMND), Rafani Tuahuns (PB PII), Iqbal Muhammad Dzilal (HIMA PERSIS), Zaki Ahmad Rivai (PP KAMMI) dan Arjuna Putra Aldino (DPP GMNI). Apa sebenarnya motif para mahasiswa tersebut mau “sowan” ke Istana di tengah banyaknya kebijakan Pemerintah yang tidak populis dan bahkan terkesan kontraproduktif dengan upaya menyejahterakan rakyat dan penegakan hukum yang berkeadilan bahkan sebaliknya yang terjadi adalah ketidakadilan (injustice).

Diakui atau tidak, dampak dari beberapa kebijakan tidak populis yang diproduksi penguasa telah memicu penentangan sebagian masyarakat. Wajar jika kalangan mahasiswa sebagai agen –yang diharap sebagai leader– perubahan (from the agent to the leader of change) pun merasa resah dan menyuarakan curhat kritisnya. Tentu ini mahasiswa termasuk mahasiswa yang tidak “suka sowan” ke istana untuk makan bersama Presiden.

Pada tahun 2021 lalu, adalah BEM UI yang mencuatkan diksi “The King of Lip Service” ke ruang publik melalui unggahan posternya di akun Instagram mereka, Sabtu (26/6/2021). Mereka menyoroti sikap Presiden Jokowi yang kerap kali mengobral janji manis, namun realitanya sering tak selaras. Caption satire ini tak ayal mendapatkan dukungan dari aliansi mahasiswa dan BEM lainnya. Hingga muncul julukan baru The Guardian of Oligarch dari BEM Udayana.

Tak hanya dalam masalah politik dan pemerintahan, aroma injustice (ketidakadilan) juga terasa menyengat dalam persoalan penegakan hukum. Dugaan terjadinya ketidakadilan (injustice) yang terkesan mengutamakan tindakan memukul daripada merangkul terhadap kelompok dan atau orang yang dinilai berseberangan dan mengkritisi pemerintah, menjadi ironi tersendiri. Sebuah elegi hukum tengah dipertontonkan oleh para penegak hukum di negara yang mengaku sebagai negara hukum, bukan negara kekuasaan ini.

Relasi antara Hukum dan Keadilan

Secara konseptual, hukum (dalam arti peraturan hukum) dan keadilan bukan dua perkara yang berada dalam satu laci. Hukum berada di norma sedangkan keadilan di wilayah nilai. Artinya, menegakkan hukum (peraturan hukum) tidak identik dengan menciptakan keadilan. Bahkan menurut Gustav Radbruch dengan Triadisme-nya, keduanya punya potensi saling tarik-menarik sehingga timbul hubungan ketegangan (spanungsverhealtnis). Radbruch menegaskan bahwa “where statutory law is incompatible with justice requirement, statutaory law must be disregarded by a judge”.

Dalam pemerintahan otoriter, hukum negara (kepastian hukum) justru diutamakan dengan mengabaikan keadilan. Hukum dipakai sebagai sarana untuk melegitimasi segala tindakan pemerintah meski keliru sekalipun. Padahal idealnya hukum harus menciptakan keadilan. Dengan perkataan lain, hukum itu berkeadilan atau hukum yang adil. Sebagaimana dikatakan oleh Thomas Aquinas bahwa “lex injusta non est lex,”artinya hukum yang tidak adil bukanlah hukum.

Hukum yang adil bisa dikatakan sebagai hukum yang baik atau good law yang ditopang oleh dua hal, yaitu:

Pertama, GOOD NORM. Kalau kita belajar teori hukumnya Lawrence M. Friedman, good norm terkait dengan legal substance (substansi hukum). Dari sisi substansi, hukum itu mesti baik. Jika kita konsekuen sebagai religious nation state berdasarkan Pasal 29 ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa,” mestinya kita mengikuti pola pembuatan hukum sebagaimana Thomas Aquinas menyebut bahwa kitab suci (lex devina) berada di atas konstitusi (human law). Hukum manusia itu berada di bawah kitab suci. Maka, hukum yang baik mestinya menginduk pada hukum Tuhan yang terdapat dalam kitab suci yang diturunkan melalui Rasulullah.

Kedua, GOOD PROCESS. Masih menyitir pendapat Lawrence M. Friedman, ada dua hal yang menopang good process: (1) legal structure, menyangkut aparat penegak hukum (APH) dan kelembagaanya. Ada polisi, hakim, jaksa, advokat hingga Lembaga Pemasyarakatan. Mereka mesti berperilaku baik. Jika negara hukum, harusnya patuhi hukum yang ada. Bukan hukum yang tidak sesuai (dengan maunya penguasa), lantas diubah mengikuti penguasa. (2) legal culture, terkait persoalan budaya yang menyangkut pemahaman hukum dan kesadaran hukum masyarakat.

Inilah dua penopang apakah proses hukum menjadi baik atau tidak, terutama persoalan kesadaran hukum. Ini hal yang harus dikuatkan, termasuk kalangan mahasiswa juga harus melek/mengerti hukum. Jika tidak melek, maka akan mudah ditindas.

Ada sinyalemen dari Brian Z. Tamanaha bahwa Pendidikan Tinggi Hukum sebagai kawah candradimuka (sumber lahirnya penegak hukum) telah menjadi failing law school (sekolah hukum yang gagal). Mengapa? Karena banyak ahli hukum, penegak hukum, lulusan hukum pun makin banyak, tapi tidak identik/linier dengan perbaikan kualitas penegakan hukum. Indonesia bahkan dikenal sebagai negara yang over regulation namun nul dalam law enforcement. Siapa yang harus bertanggung jawab?

Menkopolhukam Mahfud MD pernah menyatakan agar perguruan tinggi bertanggung jawab terhadap buruknya penegakan hukum, juga korupsi tinggi. Bahkan dikatakan bila perlu PT menjadi “tersangkanya”. Padahal di perguruan tinggi, para mahasiswa hukum diajari yang baik-baik, dimotivasi menjadi penegak hukum yang baik. Namun, begitu berinteraksi dengan penguasa/rezim (otoriter), jadilah hukum dan penegak hukum yang nota bene berasal dari PT tersebut terkooptasi. Pada akhirnya jadilah hukum yang berwajah buruk dalam semua dimensinya.

Jika ditelisik, penyebab utamanya kebobrokan dalam law making dan law sanctioning adalah karena terjadi bifurkasi hukum. Sementara kita sudah bersepakat dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Tapi saat penguasa melakukan bifurkasi hukum, mereka mengubah/membelokkan secara paksa dari prinsip negara hukum (rechtstaat) menjadi negara kekuasaan (machtstaat). Di sinilah terjadi penegakan hukum hanya sebagai legitimasi kekuasaan, demi mempertahankan status quo. Ketika hukum telah dipakai sebagai sarana untuk legitimasi kekuasaan, maka ia akan menjadi sarana/tunggangan politik. Hukum diekploitasi untuk kepentingan politik atau kekuasaan.

Yang lebih parah lagi, akibat bifurkasi hukum, kita mengalami masa yang disebut industri hukum. Yaitu saat hukum dimanfaatkan oleh siapa saja, baik oleh rezim untuk mengokohkan kekuasaannya atau digunakan orang lain untuk membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Hukum tidak lagi berorientasi pada kebenaran dan keadilan (the truth and justice), tapi sudah berupa: keuntungan dan kepentingan (vested interest). Maka jangan heran, demi kekuasaan/status quo, seseorang bisa dijerat dengan sepuluh lapisan pasal seperti yang dialami HRS hingga ia tak bisa lepas dari hukuman pidana.

Terlebih ketika pemerintah menggunakan “core” radikalisme sebagai program kerja –padahal nomenklatur radikalisme lentur dan kabur- ini sangat berbahaya. Akibat seseorang distempeli radikal, seolah hidup (karier)nya finish. Stempel yang sama juga ditujukan kepada penulis saat menjadi ahli dalam sidang gugatan Perppu Ormas, yang berupaya mendudukkan posisi Ormas dan Perppu Ormas pada waktu itu. Inilah risiko mengatakan kebenaran di hadapan rezim yang melakukan bifurkasi hukum. Kita ini berhukum, mestinya jangan melakukan vandalisme, hantam dulu urusan belakang melainkan harus taat pada hukum yang benar (due process of law) yang konon dirumuskan secara demokratis.

Fenomena Injustice: Apa sajakah?

Saat penegakan hukum tak lagi berorientasi pada pencarian keadilan dan kebenaran (searching the truth and justice), akan muncul praktik buruk sekaligus pelanggaran dalam penegakan hukum, antara lain:

Pertama, prinsip Suka-Suka kami (SSK) dalam penegakan hukum. Menurut catatan saya, SSK ini muncul sejak tahun 2017 ketika ada Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah pada waktu itu yang disidik dan diselidik untuk menguak kasus Apel dan Kemah Pemuda Islam Indonesia. Saat protes oleh Ketua Pemuda Muhammadiyah Fanani dilayangkan mengapa proses penyidikan dilakukan secara maraton, penyidik mengatakan dari Ditreskrimsus Polda Metrojaya DKI mengatakan: “Suka-suka Kami!” 

Begitulah, hukum di masa kini terkesan tak memiliki standar jelas. Penegakan Hukum bisa dibilang suka-suka APH. Polisi menangkap jika mau, membiarkan laporan jika mereka suka. Polisi juga menangguhkan jika mereka berkehendak, mengabaikan permohonan penangguhan jika mereka tak berkehendak. Tak ada ukuran objektif, polisi terkesan suka-suka memperlakukan tersangka bahkan meskipun seseorang baru sekadar menjadi terduga.

Kedua, diskriminatif atau inequality before the law. APH mempunyai hak untuk to do or not to do, ada diskresi dalam kerangka menegakkan hukum ataukah ada policy of non enforcement of law. Hukum yang adil adalah hukum yang memperlakukan sama untuk kasus yang sama (sejenis). Memperlakukan berbeda untuk kasus yang beda. Jadi mesti ada equality before the law. Jika tidak, yang akan terjadi adalah penegakan hukum yang ambyar, misalnya dengan melakukan kriminalisasi ullama dan aktivis (Gus Nur, Munarman, HRS)  versus “pembiaran” para “buzzer” pendukung rezim (Abu Janda, Denny Siregar, Ade Armando dll).

Ketiga, ketidakpatuhan APH terhadap putusan MK. Dalam kasus penangkapan hingga penetapan tersangka tanpa pemeriksaan terhadap Gus Nur, Munarman, serta HRS, polisi tidak mematuhi Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014. Putusan MK itu menegaskan bahwa frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya

Keempat, terjadi “penyunatan hukuman”, khususnya yang terkait kasus korupsi/suap. Seperti yang terjadi pada Jaksa Pinangki yang semula dihukum 10 tahun, lantas dipangkas 6 tahun jadi 4 tahun penjara. Demikian pula dalam kasus Djoko Tjandra, Edy Prabowo dan kasus-kasus lainnya, padahal kita sudah mempunyai sense of crisis terhadap tindak pidana korupsi. Tentu hal ini menjadi ironi.

Kelima, adanya proses penegakan hukum yang kejam (brutal). Penanganan dugaan pelanggaran hukum yang melibatkan enam anggota laskar eF-Pe-I yang dibunuh di luar hukum (extrajudicial killing) oleh aparat. Menunjukkan betapa kejam telah menghabisi seseorang yang tidak berdaya dengan tembakan jarak dekat dan dalam pengusaan APH. Padahal membunuh satu nyawa manusia tanpa hak itu, seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya (QS. Al Maidah: 32).  Belum lagi yang peristiwa yang menimpa dr. Sunardi Sukoharjo yang harus meregang nyawa sebelum terbukti di depan pengadilan bahwa ia benar-benar seorang teroris. Dugaan kuat bahwa telah terjadi unlawfull killings atau extrajudicial killings atas dr. Sunardi.

Mahasiswa: From The Agent to The Leader of Change

Sebagai bagian dari civitas akademika kampus, mahasiswa juga mempunyai tugas sebagai the agent of change. Berapa banyak peristiwa hukum dan politik di negeri ini berubah karena kiprah para mahasiswa yang peduli dengan berbagai ketimpangan sosial di hadapannya. Maka, layakkah mereka berdiam diri menyaksikan ketidakadilan marak terjadi?

Berikut ini beberapa hal yang harus dilakukan mahasiswa demi menuju kondisi the end of injustice:

Pertama, mahasiwa harus turut mendorong negara menciptakan good law. Hukum yang terbaik tentu berasal dari yang Maha Terbaik dan Maha Sempurna. yaitu Allah SWT. Kita harus membuat hukum yang sumbernya lex devina. Bagi umat Islam, tentu Al-Qur’an, Al-Hadis, dan ditambah ijtihad para ulama. Kita harus mencari sumber hukum terbaik, bukan sumber abal-abal. Bukan pula buatan manusia yang kebenarannya tidak bisa kita pastikan. Terlebih saat ini hukum kita masih bersumber dari warisan para penjajah, maka karakter hukumnya menindas dan sangat represif. Hukum semacam ini harus kita ganti. Jika tidak, sistem hukum akan begini terus. Akan semakin membuat kita sengsara. Memperpanjang penderitaan, bukan memperpendek penderitaan rakyat. 

Kedua, mahasiswa berani andil untuk menghentikan industri hukum. APH dan aspek legal culture harus mengutamakan kebenaran dan keadilan. Pengadilan ibarat benteng terakhir mencari kebenaran dan keadilan. Maka pengadilan tidak boleh menjadi ajang gladiator yang hanya digunakan untuk searching the winner and the loser. Kita harus mengutamakan untuk menemukan kebenaran dan keadilan. Hakimnya harus beriman, berkarakter vigilante (berani) dan memiliki braveness (berjiwa pejuang, pembela kebenaran dan keadilan).

Ketiga, mahasiswa harus memiliki semboyan hidup: “Live oppressed or rise up against (hidup tertindas atau bangkit melawan).” Maju tak gentar membela yang benar. Bukan maju tak gentar membela yang bayar. Jadilah Anda kelompok yang ditakuti oleh presiden bukan penjilat presiden yang suka “sowan-sowan”. Sebagaimana kalimat populer beberapa waktu lalu, “Mahasiswa takut dosen. Dosen takut rektor. Rektor takut presiden. Presiden (waktu itu) takut mahasiswa. Saat ini, jangan sampai mahasiswa punya gerakan lalu berhenti di pintu istana, diajak makan terus bubar jalan.

Ingatlah, bahwa tak hanya menjadi the agent of change, mahasiswa adalah the leader of change. Selain itu, sebagai insan kampus, tugas mereka adalah merohanikan ilmu, yakni  pencarian terhadap kebenaran. Searching the truth, nothing but truth. Rohani di sini berarti bicara tentang cipta, rasa dan karsa. Ini yang kita sebut dengan akal. Sebagai ilmuwan, mahasiswa juga mesti memiliki “critical thinking,” yaitu cara insan kampus berpikir terlepas dari kepentingan hegemoni kekuasaan rezim, bahkan berani memberikan kritik atas kekeliruan kebijakan rezim penguasa, bukan membebek dan mengamini kekeliruan tersebut.

Keempat, pemuda mahasiswa memiliki peran penting pada setiap bagian dari perubahan itu sendiri bahkan kita membutuhkan kehadiran kepemimpinan pemuda  mahasiswa di tengah kehidupan masyarakat dalam porsi yang lebih besar. Selama ini yang kita kenal memang slogan bahwa pemuda mahasiswa diharapkan bisa menjadi agent of change (agen perubahan). Namun, oleh karena tuntutan zaman yang semakin kompleks dan serba cepat perkembangannya, maka dalam menghadapi berbagai permasalahan bangsa saat ini, pemuda mahasiswa diharapkan bisa memainkan peran yang lebih strategis dengan menjadi leader of change (pemimpin perubahan). Dalam hal ini pemuda mahasuwa harus dipersiapkan menjadi pemimpin pada setiap lembaga-lembaga strategis seperti Pemerintahan Nasional, Pemerintahan Daerah, dan Pemerintahan Desa, sehingga pemuda tidak hanya mendorong terjadinya sebuah perubahan, tapi juga ikut menentukan arah dari perubahan itu sendiri.

Peran yang seharusnya dijalani oleh Pemuda  Mahasiswa sebagai Leader of Change, yaitu:

1. Pemuda harus memiliki akidah keagamaan yang kokoh.
2. Pemuda mahasiswa harus Kuat Ibadahnya
3. Pemuda mahasiswa harus menjadi Pecinta Ilmu Pengetahuan
4. Pemuda mahasiswa tidak boleh hedonis (zuhud)
5. Pemuda mahasiswa harus berjuang demi kemajuan bangsa,
6. Pemuda mahasiswa harus merawat kemajemukan adat dan budaya yang sesuai dengan religiusitas bangsa
7. Pemuda mahasiswa harus menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa,
8. Pemuda mahasiswa harus berani membela keadilan dan kebenaran.

Karakter inilah yang diyakini akan bisa mengubah peran pemuda mahasiswa dari sekedar the agent of change menjadi the leader of change. Namun, dengan kejadian sowannya mahasiwa ke istana di tengah banyaknya kebijakan pemerintah yang tidak populis dan penegakan hukum secara injustice, tampaknya sulit berharap mahasiswa menjadi the agent of change sekalipun. Ambyar jadinya!

Tabik…!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

1 comment