Jakarta – Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan menegaskan bahwa tata kelola beras tidak karuan dan cenderung gagal total.
“Produksi beras 2023 menurut perkiraan BPS hanya turun 645 ribu ton, dari 31.540.522 ton pada 2022 menjadi 30.895.434 ton pada 2023,”” katanya, Jum’at (19/1/24).
“Tetapi, impor beras naik meroket, naik dari 429 ribu ton pada 2022 menjadi 3,06 juta ton pada 2023. Naik 613,6 persen,” sambungnya.
Lebih miris lagi kata dia, awal tahun 2024 ini pemerintah sudah merencanakan impor beras lagi yang jumlahnya tidak tanggung-tanggung, hingga mencapai 2 juta ton.
“Tahun politik menuai impor. Pemerintah seperti tidak hadir. Mungkin sibuk cawe-cawe pemilu dan pilpres. Atau, bisa juga cawe-cawe rente ekonomi, mengejar cuan triliunan rupiah,” kesalnya.
Dia pun mensinyalir jika el nino hanya digunakan sebagai alasan untuk impor beras, yang tentu saja menghasilkan cuan besar dari rente ekonomi impor.
“Tidak cukup cuan dari impor, kantong konsumen beras mulai digembosi, alias dieksploitasi. Konsumen beras menjadi sasaran empuk untuk menanggguk untung besar,” imbuhnya.
Dia juga menyebut bahwa harga jual beras premium di pasar ritel banyak yang melampaui harga eceran tertinggi yang ditetapkan sebesar Rp13.900 per kg.
Bahkan kata dia harga beras premium di pasar ritel bisa mencapai hingga Rp16.000 per kg.
Ironisnya beber dia, semua pelanggaran ini dilakukan secara transparan, tanpa ada pengawasan dan penegakan hukum memadai.
Seolah-olah kata dia, semua kekacauan tata kelola perdagangan ritel beras ini dibiarkan terjadi, dengan merugikan konsumen.
“Mungkin kondisi masyarakat Indonesia akan jauh lebih baik kalau negara ini tidak ada pemerintah, dibandingkan dengan ada pemerintah, seperti rezim Jokowi, yang kebijakannya malah banyak yang membuat masyarakat lebih susah,” pungkasnya.
(Beby)