Jakarta – Ekonom senior, Prof Didin S Damanhuri menilai Presiden Jokowi bakal menkinggalkan legacy dua proyek besar yang menjadi biang kerok kerusakan di negara ini.
Kata dia, proyek hilirisasi mineral yang awalnya menawarkan keuntungan atau pendapatan lebih untuk negara, serta menyerap banyak tenaga kerja kenyataannya tidak lebih dari pepesan kosong.
Pasalnya menurut Guru Besar Ekonomi Politik IPB ini pembangunan smelter nikel di Indonesia justru menjadi tambang cuan super jumbo investor China.
“Misalnya dari puluhan perusahaan smelter, ternyata dominasi perusahaan-perusahaan China itu sangat tampak. Jadi hampir lumpuh perusahaan-perusahaan nasional,” kata Prof Didin dalam diskusi virtual bertajuk ‘Evaluasi Akhir Tahun: Bidang Ekonomi, Politik, dan Hukum’ yang diadakan Universitas Paramadina, Kamis (14/12/23).
Lanjut Prof Didin, program hilirisasi di era Jokowi ini, juga tidak menumbuhkan industri manufaktur di Indonesia.
“Yang akhirnya bisa disimpulkan, bahwa hilirisasi itu hanya membangun atau menopang industrialisasi China,” tegas Guru besar Universitas Paramadina ini.
Dia pun menyindir, maraknya investasi China di smelter nikel, justru meningkatkan migrasi pekerja China masuk ke Indonesia.
“Bahkan hasil-hasil dari hilirisasi kemudian diekspor, tidak digunakan oleh perusahaan manufaktur dalam negeri,” beber Ketua Dewan Pakar Asprindo (Asosiasi Pengusaha Bumiputera Nusantara Indonesia) ini.
Selain itu, Prof Didin menyebut bahwa mega proyek Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur (Kaltim), termasuk proyek bermasalah.
Pasalnya kata dia, Proyek senilai Rp466 triliun ini, tiba-tiba dibiayai APBN meskipun awalnya tidak tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
“Ini keputusan yang berani memang, tapi keberanian ini tidak didasari oleh perhitungan, assessment yang mendalam, dipertanggungjawabkan, bahkan proses perundangannya pun begitu cepat 40 hari, dan satu hari disahkan secara tergesa-gesa,” tegas Prof Didin.
Selanjutnya Prof Didin menyinggung janji Jokowi menekan kerusakan hutan atau deforestasi hingga 2030.
Menurutnya janji itu hanya sekedar janji yang tidak akan ada wujudnya.
“Karena kalau bangun IKN, artinya telah terjadi deforestasi secara sistematis. Itu bukan hanya menyerang ke Penajam Utara, tetapi akan menyerang seluruh Kalimantan,” ucap dia.
Dari sisi geopolitik, kata Prof Didin menilai, kawasan IKN begitu mudah dijangkau Korea Utara.
Selain itu, proyek IKN ini terkesan tidak didukung perencanaan yang matang.
“Kental pemaksaan yang dikhawatirkan justru akan mempermalukan pemerintah saat ini. Apakah Agustus nanti akan tercapai? Investor luar apalagi, walaupun ada penandatanganan Jokowi dengan Xi Jinping mau investasi, tapi kok belum juga masuk,” ungkapnya.
Begitu pula dengan Singapura yang hingga saat ini, menurutnya belum memperlihatkan tanda-tanda berinvestasi di IKN.
“Jadi siapa yang bekerja di sini? Di situ-lah yang disebut bekerjanya oligarki bisnis yang mengendalikan proses-proses politik, itu salah satunya soal IKN sampai pasir laut dibuka kembali,” pungkasnya.
(Red)