Istanbul – Perang Israel yang sedang berlangsung di Gaza, kini telah memasuki bulan ke-10, dan telah menyebabkan banyak korban sipil dan kerusakan meluas, yang sebagian besarnya dipicu oleh penggunaan senjata dari Barat.
Mengutip Anadolu Agency, Jum’at (4/7/24), Jerman, sebagai pemasok senjata terbesar kedua ke Israel setelah Amerika Serikat (AS), memainkan peran utama dalam memperburuk krisis di Gaza.
Meski ada kecaman global dan seruan untuk diakhirinya penjualan senjata, Jerman, bersama AS, Italia, dan Inggris, terus menjadi pemasok utama peralatan militer yang meningkatkan kekerasan dan penderitaan di Gaza.
Senjata-senjata ini telah digunakan untuk membunuh lebih dari 38.000 warga Palestina di Gaza, dan menghancurkan hampir seluruh wilayah yang terkepung itu, di mana Israel juga telah memberlakukan blokade yang melumpuhkan pasokan makanan, air, obat-obatan, dan semua kebutuhan pokok kemanusiaan di sana.
Negara-negara Barat ini, terutama AS, Jerman, Italia dan Inggris, kurang menghiraukan seruan dari pejabat tinggi kemanusiaan PBB dan para ahli di segala bidang, dan mereka terus melanjutkan pengiriman pasokan militer ke Israel meski ada kemungkinan sangat nyata bahwa mereka bersalah karena membantu dan bersekongkol dalam tindakan genosida Israel.
Misalnya, pada bulan April, Dewan Hak Asasi Manusia PBB menyetujui embargo senjata terhadap Israel, dan 28 negara memberikan suara mendukung, enam menolak, dan 13 abstain.
Di antara mereka yang menentang usulan tersebut adalah AS dan Jerman, yang merupakan dua pemasok senjata utama Israel.
Berikut ini adalah rincian persenjataan dan dukungan militer yang diberikan negara-negara ini kepada Israel.
Jerman
Jerman adalah pengekspor senjata terbesar kedua ke Israel dalam hal senjata konvensional utama, dengan lebih dari 25 persen impor antara tahun 2019 dan 2023.
Berlin terutama memasok Israel dengan kapal selam, kapal perang, mesin kendaraan dan pesawat terbang, dan torpedo, yang seringkali menanggung sepertiga dari biaya sebagai bantuan militer, menurut data dari Workers in Palestine.
Jerman telah menyetujui ekspor senjata senilai EUR326 juta (USD352 juta) ke Israel sebelum 7 Oktober, dan terus mengizinkan lisensi untuk peralatan militer seperti amunisi pelatihan, lapor harian Forensis yang berbasis di Berlin.
Lisensi ini juga mencakup teknologi militer, peralatan elektronik, kapal perang, peralatan angkatan laut khusus, bom, torpedo, roket, rudal, dan alat peledak lainnya.
Pada 2023, Jerman melakukan ekspor senjata besar-besaran ke Israel, termasuk dua korvet kelas Sa’ar 6, 10 torpedo DM2A4 Seehecht untuk kapal selam Dolphin, dan sejumlah mesin diesel untuk berbagai kendaraan militer, seperti yang dilaporkan oleh SIPRI.
Kapal korvet Sa’ar 6, yang sebagian didanai oleh pemerintah Jerman, mulai beroperasi selama serangan Israel di Gaza.
Kapal perang ini telah berpartisipasi aktif dalam serangan dari lepas pantai dan berkontribusi terhadap blokade Angkatan Laut Israel di Gaza.
Angkutan Personel Lapis Baja (APC) Eitan, yang ditenagai oleh mesin diesel Jerman, dengan cepat dioperasikan di Gaza. Baik Eitan maupun kendaraan tempur infanterinya telah dikerahkan di garis depan, mendukung pasukan Israel dalam operasi penyerangan di berbagai daerah di Gaza.
Jerman juga mengekspor mesin diesel untuk tank Merkava-4, yang merupakan bagian penting dalam invasi darat Israel. Sejak Oktober tahun lalu, tank-tank ini telah digunakan dalam serangan terhadap warga sipil dan infrastruktur di Gaza.
Januari ini, mingguan media Jerman Der Spiegel melaporkan bahwa Berlin setuju untuk memasok Israel dengan 10.000 buah amunisi tank 120 mm dari persediaan militernya, menyusul permintaan dari Israel November lalu.
Tuntutan dari Nikaragua
Nikaragua mengklaim bahwa Jerman melanggar hukum internasional dalam empat hal selama sidang yang diadakan di ICJ pada 8 April.
Nikaragua pertama kali menyatakan bahwa Jerman, dengan dukungan militer, politik dan keuangannya kepada Israel, memfasilitasi tindakan genosida di Gaza dan bertindak bertentangan dengan Konvensi Genosida.
Menyatakan bahwa Jerman adalah negara kedua yang memasok senjata terbanyak ke Israel, pengacara Nikaragua menekankan bahwa Jerman tidak mungkin tidak mengetahui bahwa amunisi yang diberikannya kepada Israel digunakan dalam genosida di Gaza.
Menyebut Jerman melanggar konvensi dasar dan praktik hukum humaniter internasional, pengacara Nikaragua mengatakan bahwa Jerman, di satu sisi, memutus bantuan kepada Palestina, dan di sisi lain mengirimkan peluru tank, drone Heron, rompi baja, pasokan medis dan kapal perang ke Israel.
Nikaragua menarik perhatian soal kontribusi berkelanjutan Jerman terhadap praktik pendudukan dan aneksasi Israel, yang terus berlanjut di seluruh wilayah Palestina, khususnya di Gaza.
Terakhir, Nikaragua berpendapat bahwa Jerman telah bertindak bertentangan dengan norma wajib hukum internasional dengan tidak mencegah bahkan mendukung rezim apartheid dan diskriminatif yang diterapkan Israel terhadap Palestina.
Jerman akui pasok senjata ke Israel, sebut sesuai dengan hukum internasional
Pada sidang tanggal 9 April, pengacara Jerman menolak klaim bahwa pemerintah Berlin “mendukung genosida Israel di Gaza” dan mereka telah mengklaim bahwa ekspor senjata tersebut dilakukan sesuai dengan aturan hukum internasional.
Pengacara Jerman juga berpendapat bahwa senjata yang dikirim ke Israel harus melalui peninjauan izin ekspor yang serius dan tidak ada tindakan melanggar hukum dengan mengirimkan senjata ke negara tersebut.
Meski beberapa negara telah menghentikan pengiriman senjata ke Israel dengan alasan bahwa senjata tersebut “dapat digunakan dengan cara yang melanggar hukum kemanusiaan internasional, menyebabkan korban sipil dan kehancuran ruang hidup” di Gaza, Jerman menolak tudingan tersebut.
Jika Israel dinyatakan bersalah atas kasus genosida yang diajukan oleh Afrika Selatan di pengadilan yang sama, dan jika keputusan pengadilan memutuskan bahwa Israel melakukan kejahatan genosida di Gaza, Jerman juga akan terlibat karena senjata yang mereka sediakan.
Amerika Serikat
Sebagai pemasok senjata terbesar ke Israel, AS menyediakan 69 persen impor senjata konvensional Tel Aviv antara tahun 2019 dan 2023, menurut laporan Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm (SIPRI).
Sejak 7 Oktober lalu, ketika konflik baru-baru ini di Gaza dimulai, AS secara signifikan telah meningkatkan dukungan militernya terhadap Israel, dengan menyetujui dan melaksanakan lebih dari 100 penjualan militer yang terpisah.
Bantuan besar ini mencakup berbagai macam senjata dan amunisi seperti pertahanan udara, amunisi berpemandu presisi (PGM), peluru artileri, peluru tank, dan senjata ringan, demikian laporan Foundation for Defense of Democracies (FDD) yang berpusat di Washington.
Pentagon juga menyewakan kembali dua baterai Iron Dome ke Israel.
Selain itu, Washington menyediakan sejumlah besar Joint Direct Attack Munition (JDAM) dan Small Diameter Bombs (SDB), dan menyetujui penjualan perlengkapan panduan SPICE untuk meningkatkan kemampuan serangan presisi Israel.
Pengiriman lainnya termasuk peluru artileri 155mm, rudal Hellfire, amunisi 30mm, dan peluru tank 120mm. Senjata dan peralatan kecil, seperti perangkat penglihatan malam PVS-14 dan Bunker Defeat Munitions, juga dipasok.
Media Israel juga melaporkan bahwa pada akhir Januari, Washington berencana untuk menjual pesawat F-35, helikopter serang Apache, helikopter Sikorsky UH-60 Black Hawk dan SH-60 Seahawk, drone, howitzer M109, sistem roket peluncur ganda M270, Fighting Falcon F-16, dan ribuan peluru artileri ke Israel.
Pada akhir Maret, pemerintahan Biden juga telah menyetujui penjualan 25 unit F-35 dan mesin pesawat senilai USD2,5 miliar ke Israel.
AS dan Israel juga menandatangani perjanjian pada 4 Juni untuk penjualan 25 pesawat F-35.
(Red/Sumber)