Jakarta – Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengungkapkan kenaikan harga BBM dan pangan, berpotensi membuat pengusaha sektor perhotelan dan restoran bersiap melakukan efisiensi.
“Karena market-nya masih belum stabil, serapannya masih kecil, jadi yang dilakukan untuk bertahan sudah pasti efisiensi, salah satunya efisiensi tenaga kerja,” ujar Maulana, seperti dikutip Bisnis.com Ahad (4/9/22).
Kata dia, dari kenaikan BBM lebih dari 30 persen itu, restoran akan terdampak secara langsung sedangkan hotel akan terkena dampak tidak langsung.
Menurutnya, para pengusaha hotel berpotensi mengeluarkan ongkos operasional yang lebih besar dari sebelum harga BBM subsidi naik.
Hal itu disebabkan karena biaya pengangkutan perlengkapan hotel dipastikan ikut naik.
Kondisi itu, lanjutnya, membuat keuangan pengusaha perhotelan berpeluang tergerus kembali.
Dia mengakui, tingkat okupansi perhotelan dewasa ini mulai naik kembali. Hal itu setidaknya tercermin dari data Badan Pusat Statistik (BPS)yang mencatat tingkat penghunian kamar (TPK) hotel di Indonesia selama Juli 2022 mencapai 39,37 persen, naik tajam 20,68 poin dibandingkan dengan TPK pada Juli 2021.
Sementara itu, menurut data PHRI, per Juli 2022, rata-rata okupansi hotel di Indonesia mencapai 40 persen. Level itu belum mampu menyamai atau bahkan mengungguli periode sebelum Covid-19, yang rata-rata mencapai 53-57 persen.
Maulana mengatakan, kendati secara okupansi membaik, namun kondisi keuangan pengusaha perhotelan masih belum membaik.
Dengan demikian, lanjutnya, dengan adanya kenaikan harga BBM dikhawatirkan akan menahan daya beli masyarakat, mengingat pariwisata menjadi kebutuhan sekunder, yang baru dilakukan setelah kebutuhan primer terpenuhi.
“Dari sisi market, yang harus hati-hati, tingkat penurunan daya beli, itu berbahaya, bagaimanapun sektor pariwisata baru dapat hidup pada saat daya beli masyarakat itu cukup baik,” jelasnya.
(Red/Sumber)