Jakarta – Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) mendukung skema baru pembiayaan KPR subsidi yang diusulkan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk.
REI menilai potensi pertumbuhan sumber-sumber baru pembiayaan perbankan dapat dilakukan guna mendorong percepatan pembangunan perumahan nasional.
“Kami meyakini bahwa masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) selaku debitur rumah subsidi punya peluang penghasilannya tumbuh dalam 5 tahun sampai dengan 10 tahun setelah beli rumah,” kata Ketua Umum DPP REI Joko Suranto lewat siaran pers seperti dikutip Bisnis, Ahad (28/4/24).
Skema baru KPR subsidi usulan Bank BTN termasuk adanya potongan tenor yang selama ini mencapai 20 tahun.
“Pemotongan tenor dari 20 tahun menjadi 10 tahun bisa dilakukan. Selain itu, pola subsidi selisih bunga juga bisa diberlakukan,” kata Joko.
Selain itu, dia turut menyoroti skema dana abadi untuk pendanaan program pembangunan perumahan. Menurut dia, sumber-sumber lainnya juga bisa diperoleh dari BPJS, Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), maupun dana wakaf.
“Sumber-sumber dana itu bisa ditempatkan di perbankan sebagai dana pendamping agar cost of fund bisa lebih rendah. Dengan begitu tingkat bunga KPR juga akan lebih terkontrol karena sumber pendanaannya berbiaya murah,” tuturnya.
Joko berkeyakinan, jika opsi sumber dana pendamping itu bisa digulirkan maka kemampuan perbankan untuk mendukung pembiayaan perumahan akan lebih baik.
“Sebanyak 12,7 juta kepala keluarga belum mendapat kesempatan untuk memiliki rumah sehingga kami mendorong agar program penyediaan hunian menjadi program prioritas nasional,” tutur Joko.
Sebelumnya, Direktur Konsumer Bank BTN Hirwandi Gafar memaparkan, pihaknya tengah mengusulkan perubahan skema KPR subsidi dari skema KPR Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) menjadi skema KPR subsidi selisih bunga. Nantinya, subsidi untuk hunian MBR akan bersumber dari pemupukan dana abadi dari hasil investasi.
“Untuk jangka waktu 10 tahun hingga 15 tahun, pemerintah akan tetap mengalokasikan pendanaan dari APBN untuk KPR FLPP sebagai dana abadi. Tapi ditambah dengan sumber pendanaan lainnya. Pada saatnya nanti, pemerintah tidak perlu lagi mendanai dari APBN karena dana abadi itu nantinya yang akan mensubsidi KPR FLPP,” kata Hirwandi.
Hirwandi menilai, jangka waktu pinjaman KPR subsidi saat ini selama 20 tahun terlalu lama. Padahal, penghasilan masyarakat cenderung mengalami peningkatan.
“Kami coba simulasikan sekitar 3% saja, maka paling lambat pada tahun ke-10 nanti konsumen rumah subsidi sudah dapat menyerap suku bunga pasar,” tutur Hirwandi.
Menurut dia, idealnya tenor KPR yang memperoleh subsidi cukup hingga tahun ke-10 saja.
“Untuk tahun ke-11 dan selanjutnya, konsumen akan mendapat bunga komersial atau floating rate yang tidak lagi disubsidi. Dengan begitu, semakin banyak penerima manfaat subsidi perumahan, bahkan hingga dua kali lipat,” bebernya.
Saat ini porsi APBN untuk mendanai KPR subsidi sebesar 75%, dan 25% sisanya bersumber dari pembiayaan perbankan.
“Misalnya untuk rumah seharga Rp180 juta, maka pemerintah harus menyediakan dana KPR subsidi sebesar Rp135 juta untuk penyaluran KPR subsidi ke masyarakat,” kata Hirwandi.
Usulan lainnya terkait besaran suku bunga KPR subsidi menjadi 10%. Komposisinya, sebesar 5% beban bunga ditanggung oleh debitur, 5% sisanya dibayarkan oleh pemerintah.
“Usulan tingkat bunga KPR subsidi menjadi 10% bertujuan agar KPR yang disalurkan bisa disekuritisasi sehingga ekosistem perumahan akan hidup kembali. PT SMF bisa melakukan sekuritisasi sesuai fungsinya di secondary mortgage,” kata Hirwandi.
Lebih lanjut Hirwandi menuturkan, batasan penghasilan maksimal calon konsumen rumah subsidi juga memicu ketidakadilan.
“Idealnya, batasan penghasilan itu digeser karena masyarakat berpenghasilan tanggung, misalnya Rp 15 juta per bulan, sulit untuk memperoleh rumah. Kami berharap REI dapat mendukung usulan BTN,” kata dia.
(Red/Sumber)