PENGUSAHA PELAJARI RENCANA PEMBENTUKAN INDEKS HARGA NIKEL

Jakarta – Pabrikan pemurnian dan pengolahan nikel masih mempelajari rencana pembentukan indeks harga nikel Indonesia atau Indonesia Nickel Prices Index yang tengah giat didorong pelaku tambang di sisi hulu.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I), Haykal Hubeis, mengatakan rencana pembentukan indeks harga nikel domestik itu bakal berdampak pada struktur ongkos produksi perusahaan di sisi penghiliran nantinya.

“Itu akan berpengaruh pada tingkat keuntungan perusahaan atau mengubah kalkulasi keuangan beberapa tahun ke depan,” kata Haykal saat dihubungi seperti dikutip Bisnis, Senin (8/5/23).

Artinya, rencana penyesuaian harga patokan mineral (HPM) nikel yang diperdagangkan di sisi hulu bersama dengan perusahaan smelter bakal ikut memengaruhi rencana keuangan serta investasi pabrikan terkait mendatang.

Dia meminta pemerintah untuk dapat teliti terkait dengan upaya penyusunan indeks harga nikel Indonesia.

Dia berharap indeks anyar itu nantinya dapat mencerminkan transaksi riil bagi pelaku usaha di sisi hulu dan pengolahan di tengah rencana penghiliran lebih intensif komoditas strategis tersebut.

“Itu akan memengaruhi smelter yang sudah menanamkan modalnya di Indonesia, harus hati-hati identifikasi tidak bisa cepat-cepat, karena industri smelter nikel itu beragam,” ujar Haykal.

Sebelumnya, pelaku usaha hulu tambang nikel belakangan mendorong pemerintah untuk menyusun indeks harga nikel Indonesia atau Indonesia Nickel Prices Index menyusul disparitas yang makin lebar antara transaksi riil dari kewajiban pembayaran royalti nikel domestik beberapa waktu terakhir.

Seperti diketahui, HPM nikel selama ini masih merujuk pada harga di bursa berjangka dunia seperti London Metal Exchange (LME).

Adapun, harga indeks pada LME itu sebagian besar digerakkan oleh permintaan yang tinggi pada nikel kelas satu yang menjadi bahan baku baterai listrik.

Sementara itu, produksi nikel di Indonesia saat ini masih dominan berasal dari jenis kelas dua seperti nickel pig iron (NPI) feronikel (FeNi) hingga nikel matte yang menjadi bahan baku pembuatan stainless steel.

“Produk di Indonesia sekarang kan masih feronikel bukan nikel baterai, maka harga jual dari feronikel yang ditransaksikan antara penambang dan smelter ini jauh di bawah LME, rata-rata kurang dari 60 persen lah tahun ini,” kata Sekretaris Jenderal Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Resvani saat dihubungi, Senin (8/4/23).

Situasi itu, kata Resvani, membuat pelaku hulu tambang nikel mesti membayar royalti yang lebih tinggi dari transaksi riil bersama dengan pabrikan smelter.

Alasannya, selisih antara harga jual riil feronikel dari LME yang digunakan sebagai acuan penentuan tarif royalti bisa mencapai 40 persen saat ini.

“Jadi ada pembengkakan dari pembayaran royalti dikarenakan harga riil di feronikel tidak sama dengan harga patokan yang didasarkan pada harga LME yang sangat tinggi,” tuturnya.

Sementara itu, pemerintah sudah menginisiasi pembahasan lebih lanjut ihwal indeks harga nikel Indonesia sebagai acuan perdagangan nikel yang berasal dari dalam negeri. Indeks ini rencanannya memiliki bentuk dan fungsi seperti harga batu bara acuan atau HBA pada komoditas batu bara.

“Jadi untuk NPI, nikel matte, MHP dari Indonesia kami ingin ada benchmark harga sama dengan HBA-lah, kalau itu sudah ada kebijakan apa yang ingin kami keluarkan itu lebih mudah,” kata Deputi Bidang Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves Septian Hario Seto, Ahad (7/5/23).

Seto mengatakan saat ini kementeriannya bersama dengan pemangku kepentingan terkait tengah mengkaji sejumlah metode perhitungan indeks harga yang ditawarkan sejumlah penyedia jasa, seperti Argus Media dan beberapa konsultan lainnya.

“Indeks Indonesia ini nikel kelas dua kan banyak. Kalau LME itu kelas satu, saya kira akan lebih transparan untuk perdagangannya, ini akan jadi perbandingan juga terkait dengan perpajakannya kan bisa kelihatan nanti,” tuturnya.

(Red/Sumber)