Jakarta – Tanpa harus membangun infrastruktur baru dengan investasi besar, teknologi pencampuran biomassa dengan batubara dengan jumlah tertentu (co-firing) di 52 PLTU merupakan langkah tepat PLN dalam mendukung percepatan transisi energi.
Dari sisi ketersedian bahan baku biomassa sangat melimpah ruah, sehingga tidak perlu cemas untuk keberlanjutan pasokannya.
Dengan banyak melibatkan masyarakat dalam mata tantai pasokan biomassa, secara langsung telah menggerakan ekonomi kerakyatan yang efek-nya dapat mensejahterakan ekonomi masyarakat desa.
Direktur Eksekutif CESS (Center for Energy Security Studies) dan Peneliti Senior Lembaga Terapan (LEMTERA) Institut Teknologi PLN , Ali Ahmudi Achyak membeberkan dunia tengah menghadapi situasi sulit yang berkepanjangan dan berdampak global. Adanya perang di berbagai penjuru yang tak berkesudahan sangat berdampak besar pada berbagai sektor, termasuk pangan, energi dan lingkungan hidup.
Selain itu, muncul dan terus berkembangnya isu pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate change) menjadikan dunia harus berbenah, termasuk pembenahan sektor energi.
Salah satu upayanya adalah kampanye pencapaian Net Zero Emision (NZE) yang membuat gerakan transisi energi (energy transition) menjadi sebuah keniscayaan tak terbantahkan.
“Ketika setiap negara membuat program transisi energi dan setiap orang bicara hal serupa, maka muncul pertanyaan transisi energi macam apa yang harus dilakukan? Jawabnya adalah transisi energi berkeadilan dan berkelanjutan dengan memperhatikan “trilema energi” yaitu ketersediaan (availability), keterjangkauan (affordability) dan keberlanjutan (sustainability). Maka pemanfaatan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) baik sebagai pengganti (substitusi) maupun pelengkap (komplementer) dari energi fossil menjadi hal penting untuk diperhatikan,” ujar Ali Ahmudi Achyak,.Sabtu (16/12/23).
Untuk itu, kata Ali, salah satu hal yang layak menjadi pertimbangan dan perlu diperjuangkan adalah program co-firing biomassa di PLTU batubara. Sebagaimana data dari Global Energi Monitor (GEN) menyebutkan bahwa tahun 2023 jumlah PLTU di Indonesia ada 234 unit, baik yang dimiliki dan dioperasikan oleh PLN Grup maupun swasta. Total kapasitasnya mencapai 45,35 Giga Watt (GW).
Ali membeberkan data dari RUPTL PLN sendiri menyebutkan bahwa pada tahun 2023 ini ada 56% produksi listrik PLN yang berasal dari PLTU.
“Artinya lebih dari separuh produksi listrik yang dipasok oleh PLN untuk seluruh masyarakat Indonesia berasal dari PLTU,” katanya lagi.
Menurutnya jika semua PLTU harus pensiun dini (passed out), maka bisa dibayangkan kondisi kelistrikan nasional pasti akan kacau dan ketahanan energi nasional akan goncang.
“Makanya tidak berlebihan rasanya jika menjadikan co-firing ini menjadi salah satu solusi bijaksana, adil dan berkelanjutan. Di satu sisi, industri batubara tetap akan hidup, industri biomassa juga terus berkembang, emisi terus bisa dikendalikan dan dikurangi secara bertahap dan lingkungan semakin membaik,” jelasnya
Lebih jauh Ali mengatakan, Indonesia memiliki wilayah sangat luas dan mayoritas tanahnya subur dipenuhi hutan dan ekosistem sumber biomassa yang melimpah ruah.
Jelas dia, aneka produk pertanian dan perkebunan bisa diproduksi dan limbahnya berpotensi menjadi bahan baku biopellet yang layak untuk dijadikan bahan bakar co-firing di PLTU batubara.
Dia juga mengatakan bahwa berdasarkan penelitian yang dilakukannya pada 2021lalu, potensi limbah biomassa di Indonesia mencapai 236,4 juta ton/tahun.
Jika dilakukan proses konversi menjadi biopellet terang dia, akan menjadi 186,6 juta ton/tahun.
“Apabila itu dijadikan bahan bakar PLTU, maka potensi listrik yang dihasilkan menjadi 23,7 GW/tahun. Itu baru dari material limbah pertanian berupa padi, jagung, singkong, sawit, kelapa, tebu dan karet. Masih banyak limbah pertanian dan perkebunan lainnya,” imbuhnya.
“Apabila itu dikembangkan, maka akan berdampak besar bagi perekonomian lokal dan nasional. Industri batubara akan tetap hidup, industri pertanian dan perkebunan menemukan gairahnya kembali, serta masyarakat petani lebih produktif dan sejahtera,” tambah pria yang juga merupakan Pengurus Pusat Asprindo (Asosiasi Pengusaha Bumiputera Nusantara Indonesia) ini.
Atasi Sampah Perkotaan dan Gerakan Ekonomi Kerakyatan
Selanjutnya Ali mengatakan bahwa mengatasi sampah perkotaan menjadi permasalahan nasional, karena jumlah-nya yang terus meningkat, sementara Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPSA) lahannya sangat terbatas.
“Dengan digalakannya pemanfaatan sampah untuk diolah menjadi Bahan Bakar Jumputan Padat (BBJP) Biomassa untuk co-fairing maka persoalan sampah di kota-kota besar dapat teratasi,” terangnya.
Dia menyebut bahwa salah satu Pabrik BBJB Biomassa yang telah beroperasi adalah di TPSA Bagendung Cilegon Banten hasil kolaborasi antara PLN Indonesia Power dan Pemerintah Kota (Pemkot ) Cilegon.
“Pabrik Biomassa ini akan menyerap 30 ton sampah setiap hari untuk diolah menjadi bahan bakar campuran batu bara ( co-firing ) di Pembangkit Listrik Tenaga Uap ( PLTU ) Suralaya,” terang Ali.
Menurutnya dengan serapan sampah yang begitu besar, otomatis akan banyak melibatkan masyarakat sekitar untuk jadi pemasok sampah, baik sampah segar, cangkang sawait, tongkol jagung maupun saw dust ( serbuk gergaji ) untuk diolah menjadi bahan bakar jumputan padat.
Dia menegaskan bahwa adanya pengolahan sampah untuk co-firing, akan berdampak besar bagi lingkungan, dapat meningkatkan perekonomian dan menyerap tenaga kerja lokal.
“Maka tidak salah jika PLN mengusung teknologi co-firing untuk digunakan di 52 PLTU karena efek domino-nya sangat luar biasa. Dampaknya bagi PLN sendiri adalah mengurangi ketergantungan akan energi fosil, menghasilkan energi hijau untuk transisi energi dan pengurangan emisi karbon, membantu pemerintah mengatasi masalah sampah dan yang paling penting adalah ikut mensejahterakan masyarakat,” pungkasnya.
(Red)