Jakarta – Harga minyak sawit mentah kembali terjun menuju 3.500 ringgit Malaysia/ton.
Hal ini menjadi level yang tidak terlihat lebih dari sebulan karena tertekan oleh prospek pasokan yang meningkat dan permintaan global yang melemah.
Gerak saham emiten-emiten produsen crude palm oil (CPO) pun dibayangi koreksi dalam jangka pendek.
Melansir Bisnis.com, Harga CPO pengiriman November, kontrak berjangka teraktif di Bursa Derivatif Malaysia, ditutup 3.542 ringgit pada perdagangan Kamis (8/9/22) pukul 16.19 WIB, merosot 4% dari harga penutupan sehari sebelummya.
Dengan demikian, kontrak berjangka CPO telah berada di zona merah selama 10 hari beruntun.
Proyeksi penurunan produksi CPO Malaysia gagal mengangkat harga CPO, padahal sempat menguat 0,7% ke 3.716 ringgit pada pagi hari.
Asosiasi Minyak Sawit Malaysia memperkirakan output produsen CPO terbesar kedua di dunia itu tahun ini hanya 18 juta ton, dibandingkan dengan 18,1 juta ton pada 2021 dan 19,1 juta ton pada 2020. Masalah kekurangan tenaga kerja menghambat panen saat puncak panen sawit saat ini.
“Proyeksi penurunan tersebut belum mampu meredam efek dari laju ekspor CPO dari Indonesia, yang masih membebaskan pungutan ekspor hingga Oktober,” ujar Research and Development ICDX Girta Yoga, Kamis (8/9).
Pembebasan pungutan ekspor ini, lanjutnya, mengindikasikan bahwa pasokan dalam negeri Indonesia masih cukup banyak, sehingga laju suplai CPO Indonesia ke pasar global masih akan cukup tinggi setidaknya hingga bulan depan.
“Belum lagi ditambah dengan harga minyak nabati yang juga sedang lesu, sehingga tentu akan menjadi pertimbangan bagi negara importir utama untuk menentukan pembelian CPO ataukah minyak nabati.”
Girta melihat efek penurunan output CPO Malaysia tidak akan terlalu signifikan dengan harga hanya akan naik tipis.
Rebound harga hanya akan dibatasi oleh potensi lonjakan pasokan dari Indonesia serta harga minyak nabati yang juga sedang melemah.
Selain itu, permintaan sudah cukup tertekan dengan perkembangan situasi Covid di China saat ini.
Dalam jangka pendek, lanjutnya, pergerakan harga CPO berpotensi menemui level resistance pada kisaran harga 4.250—4.500 ringgit per ton dan level support pada kisaran harga 3.000—3.250 ringgit/ton.
Sentimen yang akan membayangi pergerakan harga a.l. kinerja ekspor CPO Malaysia di tengah proyeksi penurunan produksi, perkembangan situasi tenaga kerja di Malaysia, perkembangan program biodiesel Indonesia, perkembangan kebijakan pemerintah Indonesia tentang ekspor CPO, dan perkembangan situasi Covid-19 yang kembali melanda China.
Sementara itu, analis Komoditas dan Founder Traderindo.com Wahyu Laksono menyampaikan penurunan harga CPO wajar karena adanya tekanan dari berbagai isu yang menyebabkan penyesuaian harga kembali.
“Komoditas pun wajar berbalik melemah, energi melemah, CPO melemah,” ungkap Wahyu, Kamis (8/9).
Selain itu, dia melanjutkan bahwa penurunan harga minyak mentah akan membuat penggunaan biodiesel menjadi kurang kompetitif apalagi bersaing dengan batu bara.
Menurutnya, harga CPO sulit mengalami peningkatan harga apalagi melewati all time high yang dicetak pada tahun ini.
“CPO rentan koreksi, setidaknya konsolidatif. CPO masih turun di bawah 4.000 ringgit per ton bisa testing 3.500 ringgit/ton. Dalam tren korektif, range konsolidasi di 3.000—4.500 ringgit/ton potensial terjadi,” paparnya.
REKOMENDASI
Di sisi emiten, Wahyu menjabarkan kinerja positif pada semester I/2022. Dia menjelaskan, 14 dari 27 emiten perkebunan sawit telah merilis laporan keuangan semester I/2022.
Dari situ, rata-rata pendapatan emiten sawit mengalami kenaikan 21,18% secara tahunan.
Hal itu diikuti oleh lonjakan rata-rata laba bersih sebesar 80,02% year-on-year (YoY).
Di sektor ini, Wahyu merekomendasikan saham SMAR, PSGO, SSMS, AALI, dan UNSP untuk dicermati investor dengan strategi buy on weakness hingga Oktober 2022.
“Untuk saham UNSP pola saham tersebut pada September ini bagus, walau lemah pada Oktober.”
Dalam risetnya, analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia Juan Harahap merekomendasikan trading buy untuk saham LSIP dengan target harga Rp1.370/saham. Menurutnya, rekomendasi itu dimotori oleh dua faktor, yakni tingginya tingkat oil extraction rate (OER) dan kuatnya neraca keuangan yang terefleksi pada posisi net cash.
“Risikonya ialah harga CPO dan volume produksi yang lebih rendah dari ekspektasi, serta perubahan regulasi,” imbuhnya.
(Red/Sumber)